Semua Hal Krusial RUU Pemilu Wajib Tuntas di Pansus
Setelah sebelumnya menyetujui pasal ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) dibahas di tingkat Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu, fraksi-fraksi di DPR juga menyepakati beberapa hal krusial lainnya dibawa ke tingkat pansus. Keputusan itu berdasarkan dalam rapat yang dihadiri seluruh fraksi DPR, Selasa (28/2).
Menurut anggota Pansus RUU Pemilu, Nurul Arifin, ada beberapa kesepakatan dalam pertemuan itu.
Soal perhitungan suara, semua fraksi menyetujui agar perhitungan suara habis di daerah pemilihan (dapil) dan tidak dibawa ke tingkat provinsi.
Kesepakatan itu diambil setelah mayoritas fraksi menyuarakan hal sama, yakni Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Yang belum disepakati dan harus dibawa ke Pansus adalah soal metode perhitungan suara.
Nurul, politikus asal Golkar, mengaku partainya menginginkan metode Divisor dengan basis perhitungan habis di dapil. Sementara PKS ingin menggunakan varian Divisor dengan varian Webster, dengan alasan varian lain hanya akan menguntungkan Partai Golkar.
"Soal metodenya ini nanti akan dibahas lagi," kata Nurul, Kamis (1/3).
Masalah krusial lainnya adalah terkait sistem pemilu, besaran dapil, dan alokasi kursi. Dari sembilan fraksi di DPR belum ada titik temu dalam sejumlah klausul RUU Pemilu itu.
Nurul mengatakan PPP mengusulkan untuk menggunakan sistem proporsional terbuka dengan besaran dapil 3-10 kursi untuk DPR, dan 3-12 kursi untuk DPRD.
Fraksi PAN menginginkan sistem proporsional terbuka dengan suara terbuka dan suara terbanyak, dengan alasan hal ini mencerminkan nilai demokrasi yang lebih berkualitas.
Mengenai besaran alokasi kursi per dapil, PAN masih mengikuti besaran dapil Pemilu 2009, yakni 3-10 kursi untuk DPR dan 3-12 kursi untuk DPRD.
Sementara, Fraksi PKS menginginkan sistem proporsional tertutup dengan berbagai alasan, yakni sesuai Konstitusi, perwujudan amanat UU Parpol agar sistem kaderisasi partai diperkuat, dan mengurangi ongkos pemilu yang mahal.
Mengenai besaran dapil, PDI Perjuangan menginginkan 3-10 kursi untuk DPR dan 3-12 kursi untuk DPRD. Partai banteng moncong putih ini juga menginginkan sistem proporsional tertutup dan tidak mempersoalkan besaran dapil.
Satu hal, Partai Golkar menginginkan sistem campuran, yakni kombinasi proporsional terbuka dan proporsional tertutup. Mengenai besaran kursi per dapil cukup 3-6 buah secara nasional, yakni berlaku di tingkat pusat hingga daerah. Besaran ini dengan alasan untuk mendekatkan pemilih kepada calon.
Partai Demokrat menginginkan sistem proporsional terbuka dengan alasan agar demokrasi Indonesia bisa tetap melakukan konsolidasi. Sementara besaran kursi per dapil antara 3-8 untuk DPR dan 3-12 untuk DPRD.
"Semua masalah ini akan dibawa ke Pansus karena memang belum ada kesepahaman," aku Nurul.
RUU Pemilu ditargetkan rampung Maret ini. Apalagi April 2012, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) periode ini sudah harus diganti.
Artinya, DPR memerlukan pijakan undang-undang yang baru untuk memilih lembaga penyelenggara pemilu itu.
Apabila jika Pansus tidak bisa menyelesaikan RUU tersebut, otomatis undang-undang yang lama yang berlaku.
Meskipun revisi UU Pemilu belum selesai, rancangan jadwal tahapan Pemilu 2014 telah disusun berdasarkan pedoman pada UU 10/2008 tentang Pemilu.
Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Abdul Hafiz Anshary, rancangan KPU atas jadwal tahapan pelaksanaan pemilu 2014 sudah dapat dimulai 22 bulan sebelum hari pemungutan suara.
"Penyusunan dijadwalkan dimulai Juni 2012 dan berlangsung selama sekitar 90 hari," ujar Hafiz dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR, Gedung Parlemen, Jakarta, Senin 20 Februari 2012.
Dia menambahkan, jika diprediksi pemungutan suara dilaksanakan pada bulan April 2014, berarti tahapan penyelenggaraan pemilu dimulai 22 bulan sebelum pemungutan suara. Artinya, Agustus 2012 seharusnya sudah mulai dijalankan tahapan Pemilu 2014.
Voting saja
Menyikapi tarik ulur pembahasan Pansus RUU Pemilu, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi) Jeirry Sumampow menilai fraksi-fraksi yang tergabung dalam Pansus RUU Pemilu memang tidak berniat menyelesaikan RUU tersebut tepat waktu.
Buktinya, hingga saat ini belum dilakukan voting untuk memutuskan poin-poin krusial dalam Pansus.
"Saya kira ini bukan deadlock lagi tapi memang Pansus sudah tidak memutuskan,"kata Jeirry ketika dihubungi Kamis (1/3) malam.
Dia mengatakan persoalan RUU Pemilu bukan lagi pada elaborasi gagasan, namun perbedaan kepentingan membuat fraksi-fraksi cenderung tidak mengutamakan tahapan Pemilu 2014.
Hampir semua partai punya kepentingan memundurkan Pemilu 2014 karena mereka diuntungkan jika tahapan Pemilu molor, termasuk partai-partai yang bermasalah dalam internal seperti Partai Demokrat, terangnya.
"Makin lama persiapan Pemilu dimulai makin banyak punya kemungkinan membenahi partai," lanjutnya.
Desakan voting juga disuarakan pengamat politik UGM Ari Dwipayana. Ia menilai Pansus RUU Pemilu harus segera mengambil langkah voting untuk menyelesaikan titik-titik buntu dalam pembahasan RUU itu.
Pasalnya, pembahasan undang-undang yang molor, kata dia, akan berdampak pada persiapan pemilu mendatang.
Dia menjelaskan dalam pembahasan RUU ini, polarisasi kepentingan partai memang tidak mudah diseragamkan. Bahkan di antara partai koalisi pun tidak satu suara.
"Alotnya titik kompromi harusnya bisa diselesaikan pada level yang lebih tinggi," kata dia lagi.
Ari sendiri mengatakan dia belum melihat adanya skenario mandeknya pembahasan RUU ini untuk kepentingan penundaan pemilu. Namun perbedaan kepentingan yang tajam membuat fraksi-fraksi susah menyatukan pendapat.
"Saya belum melihat skenario ke arah situ ya. Ini memang titik kompromi yang susah. Belum lagi nanti sebagian harus mempersiapkan gugatan-gugatan ke MK jika hasil RUU tidak sesuai kepentingan mereka," tukas Dwipayana.