Akhir Cerita Cinta Pep dan Barcelona
Keputusan mundurnya Josep Guardiola dari kursi Manager Barcelona, seakan menambah duka yang melanda kubu Los Blaugrana. Kehilangan juru taktik andalan, kehilangan gelar juara Liga Champions, dan ‘hampir dipastikan’ kehilangan gelar juara La Liga membuat Barca bak seorang petinju yang menerima tiga pukulan kombinasi jab-hook-uppercut secara beruntun.
Apa daya, talak sudah diucapkan oleh Guardiola pada hari Jumat lalu, menandai berakhirnya cerita cinta dengan Barcelona pada akhir musim ini. Ya, akhir cerita cinta merupakan judul yang cocok untuk menggambarkan perpisahan keduanya.
Nuansa kesedihan terlihat jelas ketika sang Entrenador mengucapkan kalimat perpisahan dengan anak buahnya, menyerupai kesedihan yang berhasil diceritakan dengan baik oleh musisi Glenn Fredly melalui lirik demi lirik Akhir Cerita Cinta.
"Sandiwarakah selama ini, setelah sekian lama kita tlah bersama”
Tiga belas trofi dalam kurun waktu empat tahun kepemimpinan Pep menandakan betapa berharganya pria kelahiran 1971 tersebut bagi publik Catalonia. Faktanya, memang tidak pernah ada manajer Barcelona yang memiliki performa sebaik dirinya sampai detik ini. Bahkan era Dream Team di bawah asuhan Johan Cruyff sekali pun, tidak lebih baik dari era Guardiola.
Tidak masuk akal, jika satu atau dua kegagalan dapat menjadi tolak ukur untuk mengundurkan diri dari suatu kerja sama yang penuh kesuksesan. Karena itu wajar jika kemudian publik bertanya-tanya, apakah Pep benar-benar mencintai Barcelona? Ataukah kebersamaan selama empat tahun ini dikarenakan sodoran sejumlah uang dari presiden klub, yang sukses menjadikan Pep sebagai manajer bergaji tertinggi ketiga di dunia?
"Inikah akhir cerita cinta, yang selalu aku banggakan di depan mereka, entah di mana kusembunyikan rasa malu”
Selama kurun waktu 2008-2011, Barca benar-benar menjadi kebanggaan publik Catalonia dan bahkan Spanyol. Tiga gelar La Liga, satu Piala Raja, tiga Piala Super Spanyol, dua gelar Liga Champions, dua Piala Super Eropa, dan dua gelar Kejuaraan Dunia Antarklub berhasil membuat pencapaian era ‘Los Galacticos’ milik Real Madrid seakan tidak berarti apa-apa.
Memang benar, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Di balik semua keberhasilan yang diraih Barcelona, pasti akan datang masa-masa kegagalan. Tapi, apakah keputusan mundur yang diambil Pep itu semata-mata karena rasa malu akibat kegagalan tersebut? Atau karena datang sebuah tawaran yang lebih menggiurkan dari Roman Abramovich untuk menukangi Chelsea?
"Kini harus aku lewati, sepi hariku tanpa dirimu lagi”
Tidak butuh waktu lama bagi Presiden klub, Sandro Rosell, untuk mengumumkan sosok pengganti di kursi Entrenador. Mulai musim mendatang, Barca akan dipimpin oleh Tito Villanova yang tak lain merupakan asisten Pep Guardiola.
Penunjukan sang asisten sendiri bukan tanpa alasan. Sang Presiden berharap agar sepeninggal Pep nanti, Tito dapat mempertahankan skema tiki-taka yang telah berjalan dengan sukses selama ini.
Bukan hal yang mudah bagi seorang pelatih baru, untuk melanjutkan kesuksesan era sebelumnya yang bergelimang gelar juara. Inter Milan sudah membuktikannya di musim 2010/2011.
Karena Tito adalah bagian dari era keemasan Barcelona, pasti tekanan publik yang akan dihadapinya jauh lebih besar bila dibandingkan saat Pep pertama kali menukangi Los Blaugrana. Menarik untuk disimak, apakah Tito Villanova akan berakhir seperti Charly Rexach yang selalu berada di bawah bayang-bayang kebesaran Johan Cruyff?
"Biarkan kini ku berdiri, melawan waktu tuk melupakanmu, walau pedih hati namun aku bertahan.”
Sebagai seorang yang mengemban tugas untuk mempertahankan panji-panji kebesaran Barcelona, tentunya Tito Villanova akan mengerahkan seluruh kemampuan terbaiknya.
Nasi sudah menjadi bubur, yang sudah berlalu biarlah berlalu. Tidak ada gunanya lagi menangisi kepergian Pep. Berikanlah kesempatan kepada Tito untuk membuktikan kemampuannya dalam memimpin armada Barcelona.
Bukankah Barca tetap berprestasi sepeninggal Johan Cruyff, Bobby Robson, Louis van Gaal, maupun Frank Rijkaard? Memang benar, bahwa keberhasilan di era Guardiola ‘mungkin saja’ tidak akan mampu diulang kembali di masa-masa berikutnya. Tapi setidaknya, buktikanlah kepada dunia, bahwa Barcelona masih mampu berprestasi. Buktikanlah, bahwa Barcelona bukanlah sebatas Josep Guardiola.
Apa daya, talak sudah diucapkan oleh Guardiola pada hari Jumat lalu, menandai berakhirnya cerita cinta dengan Barcelona pada akhir musim ini. Ya, akhir cerita cinta merupakan judul yang cocok untuk menggambarkan perpisahan keduanya.
Nuansa kesedihan terlihat jelas ketika sang Entrenador mengucapkan kalimat perpisahan dengan anak buahnya, menyerupai kesedihan yang berhasil diceritakan dengan baik oleh musisi Glenn Fredly melalui lirik demi lirik Akhir Cerita Cinta.
"Sandiwarakah selama ini, setelah sekian lama kita tlah bersama”
Tiga belas trofi dalam kurun waktu empat tahun kepemimpinan Pep menandakan betapa berharganya pria kelahiran 1971 tersebut bagi publik Catalonia. Faktanya, memang tidak pernah ada manajer Barcelona yang memiliki performa sebaik dirinya sampai detik ini. Bahkan era Dream Team di bawah asuhan Johan Cruyff sekali pun, tidak lebih baik dari era Guardiola.
Tidak masuk akal, jika satu atau dua kegagalan dapat menjadi tolak ukur untuk mengundurkan diri dari suatu kerja sama yang penuh kesuksesan. Karena itu wajar jika kemudian publik bertanya-tanya, apakah Pep benar-benar mencintai Barcelona? Ataukah kebersamaan selama empat tahun ini dikarenakan sodoran sejumlah uang dari presiden klub, yang sukses menjadikan Pep sebagai manajer bergaji tertinggi ketiga di dunia?
"Inikah akhir cerita cinta, yang selalu aku banggakan di depan mereka, entah di mana kusembunyikan rasa malu”
Selama kurun waktu 2008-2011, Barca benar-benar menjadi kebanggaan publik Catalonia dan bahkan Spanyol. Tiga gelar La Liga, satu Piala Raja, tiga Piala Super Spanyol, dua gelar Liga Champions, dua Piala Super Eropa, dan dua gelar Kejuaraan Dunia Antarklub berhasil membuat pencapaian era ‘Los Galacticos’ milik Real Madrid seakan tidak berarti apa-apa.
Memang benar, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Di balik semua keberhasilan yang diraih Barcelona, pasti akan datang masa-masa kegagalan. Tapi, apakah keputusan mundur yang diambil Pep itu semata-mata karena rasa malu akibat kegagalan tersebut? Atau karena datang sebuah tawaran yang lebih menggiurkan dari Roman Abramovich untuk menukangi Chelsea?
"Kini harus aku lewati, sepi hariku tanpa dirimu lagi”
Tidak butuh waktu lama bagi Presiden klub, Sandro Rosell, untuk mengumumkan sosok pengganti di kursi Entrenador. Mulai musim mendatang, Barca akan dipimpin oleh Tito Villanova yang tak lain merupakan asisten Pep Guardiola.
Penunjukan sang asisten sendiri bukan tanpa alasan. Sang Presiden berharap agar sepeninggal Pep nanti, Tito dapat mempertahankan skema tiki-taka yang telah berjalan dengan sukses selama ini.
Bukan hal yang mudah bagi seorang pelatih baru, untuk melanjutkan kesuksesan era sebelumnya yang bergelimang gelar juara. Inter Milan sudah membuktikannya di musim 2010/2011.
Karena Tito adalah bagian dari era keemasan Barcelona, pasti tekanan publik yang akan dihadapinya jauh lebih besar bila dibandingkan saat Pep pertama kali menukangi Los Blaugrana. Menarik untuk disimak, apakah Tito Villanova akan berakhir seperti Charly Rexach yang selalu berada di bawah bayang-bayang kebesaran Johan Cruyff?
"Biarkan kini ku berdiri, melawan waktu tuk melupakanmu, walau pedih hati namun aku bertahan.”
Sebagai seorang yang mengemban tugas untuk mempertahankan panji-panji kebesaran Barcelona, tentunya Tito Villanova akan mengerahkan seluruh kemampuan terbaiknya.
Nasi sudah menjadi bubur, yang sudah berlalu biarlah berlalu. Tidak ada gunanya lagi menangisi kepergian Pep. Berikanlah kesempatan kepada Tito untuk membuktikan kemampuannya dalam memimpin armada Barcelona.
Bukankah Barca tetap berprestasi sepeninggal Johan Cruyff, Bobby Robson, Louis van Gaal, maupun Frank Rijkaard? Memang benar, bahwa keberhasilan di era Guardiola ‘mungkin saja’ tidak akan mampu diulang kembali di masa-masa berikutnya. Tapi setidaknya, buktikanlah kepada dunia, bahwa Barcelona masih mampu berprestasi. Buktikanlah, bahwa Barcelona bukanlah sebatas Josep Guardiola.
Penulis: Ivan Putuhena
Pemilik akun Twitter @si_bung