Alasan Perempuan Mencari Pasangan yang Mirip Ayahnya
Lima belas peneliti dari beberapa universitas di Amerika Serikat dengan beragam gelar mengambil bagian dalam penulisan buku berjudul The Science of Relationships: Answers to Your Questions About Dating, Marriage, and Family.
Buku tersebut menawarkan sekitar solusi-solusi dari sekitar 40 masalah berkait romantisme. Termasuk salah satunya pertanyaan mengenai alasan seseorang memilih pasangan yang mirip dengan orangtuanya.
Benjamin Le, psikolog sosial di Haverford College di Pennsylvania, AS dan Jennifer Harman, profesor psikologi di Colorado State University, AS, membagi pengetahuan mereka mengenai hal ini di buku tersebut.
Dr Harman mengatakan, "Riset mengatakan, jika seseorang mendapat eksposur terhadap satu hal yang terus menerus, secara bawah sadar, ia akan menyukai hal tersebut."
Ditambahkan pula oleh dr Harman, hal ini juga umum terjadi di situs-situs kencan online. Awalnya Anda mungkin tak tertarik dengan seorang lelaki, tetapi makin sering Anda melihat fotonya, makin tertarik pada orang itu.
"Ada pula situs-situs kencan yang mencoba ambil untung dari hal ini. Contoh, para anggota situs kencan itu bisa membayar lebih supaya foto-fotonya ditampilkan lebih sering," ujar dr Harman.
Hal ini menunjukkan, makin terbiasa kita terhadap paras atau kebiasaan seseorang, kita akan lebih nyaman bersama orang yang setipe itu.
Namun para peneliti mengungkap, kompleksitas dari menjalin hubungan yang mirip orangtua tidak semata-mata karena tipe keterikatan yang dibentuk oleh orangtua dengan anak-anaknya.
Dijelaskan dr Le, "Jika orangtua tidak mengasuh secara konsisten atau jarang ada dekat anaknya, anaknya akan memiliki ekspektasi: orangtuanya tidak bisa diandalkan. Sementara studi menunjukkan, manusia akan memilih ketidakpuasan jika hal itu konsisten dengan ekspektasi mereka, dibanding hal-hal yang membuat mereka mengubah cara pandang terhadap dunia."
Sementara menurut dr Harman, hal ini bisa jadi hal dinamis yang sehat, tetapi bisa juga tidak. Jika seseorang memiliki penilaian diri yang buruk akibat pola pengasuhan yang salah, manusia cenderung memilih memasuki hubungan percintaan yang pasangannya akan makin mengukuhkan hal tersebut.
Namun kedua psikolog ini juga mengatakan, meski sering ditemui pasangan yang salah satunya tipe "penghindar" sementara yang satunya tipe "pencemas" akan menjalani hubungan tidak memuaskan, tetapi ada pula pasangan seperti ini yang justru merasakan hubungan yang sangat stabil dan tidak berisiko berakhir pada perceraian.
"Hubungan-hubungan semacam ini bisa berlangsung cukup lama asalkan mereka sama-sama merasa aman, nyaman, dan sehat. Jadi, itu tergantung pada cara Anda mengukur kesuksesan hubungan," jelas dr Le.
Ketika diminta mengomentari apakah memang benar, pasangan yang menikah akan kehilangan percikan asmara, para doktor ini menjawab, ya.
Mereka menjelaskan, berkurangnya tingkat kepuasan dalam kehidupan berpasangan ada pengaruh dari perubahan tuntutan hidup dibarengi tingkat "chemistry" di antara pasangan tersebut.
Mengenai hal ini, kedua psikolog ini merekomendasikan agar pasangan meremajakan hubungan dengan pengalaman yang menyegarkan.
"Ketidakpuasan terjadi karena Anda sudah mengenal pasangan cukup dalam dan tidak ada hal yang baru. Hubungan pun jadi hambar dan membosankan. Aktivitas baru bersama-sama bisa mencegah penurunan rasa dan asa. Menonton bioskop bersama saja tidak akan cukup, karena itu sifatnya pasif. Coba lakukan kegiatan fisik bersama yang keduanya cukup kuat lakukan," jelas dr Le.