Marah-marah itu Berbahaya Bagi Kesehatan
Marah adalah emosi reaksi wajar yang dialami manusia. Marah meledak adalah salah satu bentuk saluran emosi. Namun hati-hati, ada "harga yang harus dibayar" lewat kesehatan bila terlalu sering marah.
Hasil studi mengungkap, terlalu sering marah bisa meningkatkan risiko penyakit jangka panjang, mulai dari penyakit jantung, stroke, sulit sembuh, serta daya tahan tubuh yang melemah.
Minggu lalu, para peneliti di University of Granada di Spanyol melaporkan, mengingat masa lalu dengan penyesalan atau rasa marah bisa membuat daya tahan seseorang untuk menerima rasa sakit berkurang.
Penelitian dari Spanyol itu memperkirakan, mood negatif mengganggu sirkuit otak. Ini menunjukkan, marah menimbulkan masalah pada tubuh sudah jelas terbukti.
Ketika marah, detak jantung dan tekanan darah akan meningkat, begitu juga aliran darah ke otot, yang membuat tubuh siap lari atau berkelahi untuk menghadapi keadaan yang membuat pikiran tegang.
Di saat bersamaan, ketika marah, level glukosa yang meningkat, memberikan otot energi untuk beraksi dan memompa kelenjar adrenal mengeluarkan hormon adrenalin.
Hal ini menyebabkan pembesaran pada pupil untuk menajamkan pandangan, serta memperbesar kapasitas paru-paru untuk menghirup lebih banyak oksigen.
"Orang cenderung merasa lebih enerjik ketika marah," jelas psikolog Annie Hinchcliff, yang mengambil spesialisasi pada manajemen emosi.
Semua ini adalah respon normal, dan begitu mood mulai kalem, fungsi-fungsi indera akan kembali normal, tanpa ada konsekuensi kesehatan jangka panjang.
Namun, yang perlu diperhatikan adalah ketika rasa marah ini terjadi rutin dan berulang. Ketika respon "darurat" ini berulang terjadi, maka akan ada respon pada tubuh.
Diperkirakan, akan ada bagian yang rusak pada sistem kardiovaskuler jika terlalu sering marah.
Jantung adalah bagian tubuh yang paling berisiko saat seseorang sering marah.
Risiko lebih tinggi akan dirasakan mereka yang cenderung memendam rasa marah ini ketimbang yang menyalurkan emosi negatif ini.
Peneliti asal Swedia melihat kondisi sekitar 2.755 pegawai di Stockholm dan menemukan, mereka yang tidak mengekspresikan marah ketika diperlakukan tidak adil di kantor akan menggandakan risiko terkena serangan jantung.
Julian Halcox dari Cardiff University bagian kardiologi mengatakan, "Bukti-bukti yang ada kurang konklusif, tetapi beberapa studi mengatakan, marah dan sikap negatif yang dipendam lama akan meningkatkan stres pada sistem kardiovaskuler."
Memang, menurut Halcox, lebih baik untuk seseorang menyalurkan emosi negatifnya, namun bukan berarti marah setiap saat.
"Penelitian ini lebih ditujukan bagi mereka yang sudah memiliki sikap pemarah," jelasnya.
Bukan hanya jantung yang akan menerima akibat dari kebiasaan sering marah. Peneliti di University of Miami yang meneliti 61 lelaki dengan kanker prostat untuk menyelidiki sel-sel pelawan kanker akan terpengaruh pada kebiasaan seseorang menahan atau mengeluarkan rasa marahnya.
Didapati, lelaki yang menyuarakan perasaan mereka memiliki sel-sel pelawan kanker lebih baik.
Tambahan lagi, ketika merasa marah, risiko terkena stroke juga meningkat karena aktivitas elektris jantung kusut dan menyebabkan degup jantung tidak beraturan.
Ini mengakibatkan darah menggumpal dan menjadi pekat. Jika ada fragmen penggumpalan darah terlepas dan masuk ke saluran otak, itu bisa mengakibatkan stroke.
Marah dan emosi negatif juga bisa membahayakan kesehatan paru-paru. Menurut penelitian di Harvard University, hormon stres bisa mengakibatkan peradangan di saluran pernapasan.
Selain itu, Profesor John Oxford, virolog di Queen Mary's School of Medicine di London mengatakan, "Ada bukti, stres menurunkan daya tahan tubuh dan akan ada selalu virus yang mencoba mencari keuntungan."
Teorinya, makin tinggi hormon stres, seperti kortisol, akan memengaruhi kemampuan tubuh melawan penyakit.
Artinya, bagi yang terluka, kecepatan tubuh untuk membaik akan melambat.
Belum lagi, rasa marah akan memengaruhi juga hubungan seseorang.
"Akan memengaruhi hubungan, kehidupan pekerjaan, serta kepercayaan diri," kata Annie Hinchliff.
Namun, tidak selalu buruk, marah juga bisa menjadi pendorong kesuksesan di pekerjaan.
Psikolog di Stanford University di AS menggalang eksperimen terhadap beberapa mahasiswa yang diminta untuk melakukan peran seseorang sedang bernegosiasi dalam perjanjian bisnis.
Di beberapa naskah yang harus mereka perankan, beberapa peran di dalamnya mencakup menunjukkan permintaan dengan gaya marah.
Mereka yang menunjukkan permintaan dengan marah cenderung membuat lawan bisnisnya mundur.