Menjajal Kolam yang Lebih Besar

Senin, April 23, 2012 0 Comments



Lucia Cahyaningtyas.
Lucia Cahyaningtyas. (sumber: Dok. Pribadi)
Mulai dari hal kecil, selangkah demi selangkah untuk menjajal "kolam yang lebih besar".

Memulai usaha sendiri di negeri sendiri saja bukan perkara mudah bagi sebagian besar orang. Namun bagi Lucia Cahyaningtyas, ia melangkah lebih jauh. Ia membuka usaha di bidang kreatif di negeri orang.

Lucia adalah pemilik studio desain yang berbasis di Hongkong. Sebelum membuka studio desainnya sendiri, anak ketiga dari 4 bersaudara ini pernah bekerja di 3 negara lain; Prancis, Amerika Serikat, dan Inggris.

Baru-baru ini, di sela-sela perjalanan bisnisnya ke Singapura, kepada Beritasatu.comLucia menyempatkan diri menuturkan perjalanan kariernya sebagai perempuan asal Indonesia yang berhasil menjalani mimpinya di "kolam yang lebih besar".

Sejak kecil, Lucia senang menggambar dan membuat komik sendiri, sebuah bakat menarikan pensil menjadi karya itu bisa jadi ia dapatkan dari ayahnya yang pernah bekerja sebagai arsitek. 

"Dari kecil [saya] memang sudah senang menggambar (mostly bikin cerita komik sendiri). Masuk SMP, [saya] aktif di majalah dinding, seksi publikasi OSIS dan lainnya, saya turut aktif membuat gambar untuk poster, pengumuman, dan lainnya. Saya juga senang sekali bikin arts & crafts, menghias agenda, bikin layout kartu-kartu untuk teman, sampai lupa belajar," kenangnya. 

Sejak usia remaja itu, Lucia menyadari, mendesain layout untuk poster, kartu, artikel, dan sebagainya adalah kegiatan menyenangkan dan dinikmatinya. "Bikin lupa waktu dan bisa banget dibela-belainbegadang ketimbang bikin PR, mengerjakan Matematika, atau menghafal teori ekonomi untuk ulangan besoknya," candanya. 

Hobinya itu menjadi titik utama dalam hidupnya, "And because of that, I realized that being a graphic designer is something that I want to pursue and do in life, professionally."

Berdasar bakat dan minatnya itu, ia memilih mengambil kuliah jurusan komunikasi visual di Institut Teknologi Bandung pada tahun 1995-1999 dengan predikat Cum Laude. 

Lulus dari kuliah, ia kembali tinggal dan bekerja di Jakarta selama 2 tahun, kemudian pindah ke New York, AS, untuk mengambil gelar Master. 

"Saya ke New York karena haus ilmu. Masih ada perasaan, skill dan pengetahuan saya bisa berkembang lebih. Salah satu cara yang terpikir adalah sekolah di lingkungan baru yang sekaligus memberi pengalaman hidup. Pergilah saya, jauh dari kampung halaman, jauh dari keluarga. Saya juga mencoba magang di beberapa kantor di sana. Kultur dunia profesionalnya sangat berbeda dari Jakarta. Saya belajar banyak."

Tidak menyia-nyiakan waktu, Lucia terus berusaha menggali potensi terbaiknya, "Saya meninggalkan New York pada tahun 2004, kemudian pindah ke beberapa tempat, Skotlandia, Paris, Newcastle, dan akhirnya ke Hong Kong untuk memulai perusahaan sendiri di tahun 2009," tutur pemilik Totango Design Studio ini.

Pengalamannya bekerja di beberapa negara memberi Lucia perspektif berbeda mengenai negara-negara yang ia datangi. 

"Secara umum, di AS dan Inggris, tingkat profesionalitas yang sangat tinggi. Level yang sangat berbeda dari dari yang ada di Indonesia. Everything has to be perfect, tidak hanya dalam hasil karya, tapi juga hubungan dengan sesama desainer di kantor, apalagi klien."

Secara khusus di New York, Lucia melihat, kesempatan seseorang untuk mengembangkan diri sangat luas. "Kesempatan untuk mengerjakan proyek desain dalam skala global. Tidak hanya datang dari AS saja, tapi juga dari belahan dunia lain. Kompetisi di NYC juga sangat ketat, jadi performa kita di kantor juga dituntut untuk selalu prima. 'Kendur' sedikit, sangat mudah untuk disingkirkan, karena desainer-desainer yang canggih, dateng dari seluruh dunia, juga tersedia banyak," tuturnya.

Sementara di Inggris, kata Lucia, lebih banyak menekankan pada pemikiran konseptual dan penelitian dalam berkarya. "Semua harus punya dasar (secara ilmiah dan referensi yang kuat), bisa dipertanggungjawabkan. Diskusi tentang karya selalu harus ada substansinya, enggak cuma mengarang," kenang Lucia.

Sementara di Hongkong, yang paling penting, menurut Lucia, adalah efisiensi. Diceritakannya, "Semua orang disini sangat efisien in doing business. Enggak ada yang telat. Kalau cara menangani kliennya berantakan, jangan harap akan dihubungi klien lagi. Mereka akan menganggap perusahaan tidak kompeten dan enggak bisa memberikan apa yang mereka inginkan kalau tidak bisa rapi dalam mengerjakan sesuatu!"

Membuka bisnis di negeri orang juga memberinya pelajaran-pelajaran berharga, terutama soal jaringan. 

"Saya tidak bisa bicara bahasa Kanton. Kalau bicara dengan klien, tidak masalah, karena mereka bisa bahasa Inggris. Tetapi kalau bicara dengan penyuplai lokal, seperti percetakan, wah, suka putus asa."

Menurutnya, kendala-kendala semacam ini bisa menghambat. "Sebagai pemilik studio desain, saya tidak hanya harus punya klien, tetapi juga harus punya rekanan yang bisa mendukung bisnis itu sendiri."

Setelah berkeliling ke berbagai belahan dunia, Lucia belum tertarik untuk mulai kembali dan bekerja di Indonesia. 

"Terus terang, melihat kondisi karut-marutnya politik dan cara hidup di Indonesia, kultur korupsi yang merajalela, efisiensi yang praktis hampir enggak ada, rasanya agak malas kembali ke Indonesia. Lagipula, berkarya untuk Indonesia bisa dari luar negeri juga, kan? Enggak harus tinggal disana," jelasnya. 

Dalam dunia pekerjaannya, Lucia mengaku jarang mencitrakan diri sebagai desainer asal Indonesia. Lucia menjelaskan, "Karena latar belakang saya juga mencakup pendidikan dan profesional di AS dan Eropa."

"Kalau dikaitkan dengan rasa bangga, lebih kepada saat saya harus membuat materi yang berhubungan dengan materi visual asal Indonesia. Saya bisa merasa sangat bangga saat menjelaskan dari mana inspirasi visual ini didapat, karena saya cukup familiar dan bisa menjiwai visual dari Indonesia tersebut, since I grew up with it," tuturnya.

Tentang Hari Kartini yang baru saja lewat, Lucia berkomentar, "Menurut saya, Ibu RA Kartini akan sangat bangga melihat betapa mandiri, tak gampang menyerah, dan berpikiran majunya perempuan-perempuan Indonesia sekarang. Bahwa sekarang perbedaan jenis kelamin tidak lagi menjadi masalah untuk perempuan untuk belajar dan berkarya seluas-luasnya."

Bagi perempuan Indonesia yang ingin mencoba bergerak di bidang yang digeluti Lucia di luar negeri, ia memberi pesan, "Jangan pernah merasa minder atau ada sesuatu yang kurang karena gender atau dari negara mana Anda berasal. Karena pada dasarnya kedua faktor ini bukan masalah. At the end of the day, kualitas anda sebagai seorang professional yang lebih dipandang dan tentunya bisa membawa langkah Anda jauh, no matter where you are from."

Jangan pernah berhenti belajar, selalu bekali diri dengan motivasi dan passion, karena menurut Lucia, "Mimpi bisa diwujudkan dengan dimulai dari 1 langkah kecil yang terarah dan dilakukan terus menerus – one step at a time! Konsisten, persisten, dan tidak cepat menyerah juga akan membawa setiap langkah kecil tadi ke satu titik pencapaian yang lebih besar. Rasa tidak cepat puas juga bisa membawa Anda untuk berkiprah di 'kolam' yang lebih besar... dunia internasional!"

DAVINA NEWS

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

Tentang DaVinaNews.com

Davinanews.com Diterbitkan oleh Da Vina Group Davinanews.com adalah situs berita dan opini yang memiliki keunggulan pada kecepatan, ketepatan, kelengkapan, pemilihan isu yang tepat, dan penyajian yang memperhatikan hukum positif dan asas kepatutan Davinanews.com memberikan kesempatan kepada para pembaca untuk berinteraksi. Pada setiap berita, pembaca bisa langsung memberikan tanggapan. Kami juga menyediakan topik-topik aktual bagi Anda untuk saling bertukar pandangan. Davinanews.com menerima opini pembaca dengan panjang maksimal 5.000 karakter. Lengkapi dengan foto dan profil singkat (beserta link blog pribadi Anda). Silakan kirim ke email: news.davina@gmail.com.