Orang Miskin Berhak Pintar
Orang miskin sekolah di SD negeri, nilai ujian yang jelek sulit masuk ke SMP negeri. Sekolah di swasta mahal. Masih ada sekolah alternatif.
Masih ingat berita tentang kisah tertangkapnya Riski (23) yang kepergok mencuri tiga handphone, satu Ipod dan dompet, media tahun lalu. Warga Kemuning Palembang ini nekat melakukan aksinya demi membiayai sekolah adiknya. "Aku curi HP untuk nambah biaya sekolah adik aku. Walaupun sekolahnya gratis, tapi masih sering diminta uang oleh pihak sekolah," katanya waktu diinterogasi polisi.
Lain lagi kisah warga Kediri bernama Wiwik Mardiati, 54,dan adiknya Karmini, 47, yang mencuri tas pemilik Toko Busana Idola untuk membayar uang SPP salah satu anaknya yang duduk di bangku SMA.
Praktik kriminal ini tentu saja tak bisa dibenarkan. Alasan pencurian bisa saja bukan alasan sebenarnya. Namun kita tidak bisa menutup mata adanya kesulitan warga bangsa membiayai pendidikan. Pendikan kian hari kian mahal. Sudah jamak kita dengar untuk masuk TK saja harus keluar uang Rp 14 Juta. Di sekolah plat merah warga juga masih keluar uang ratusan ribu, meski sudah ada embel-embel sekolah gratis karena ada Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Bujet APBN yang mengalokasikan 20% untuk pendidikan tak jelas junterungannya. Total jenderal anggaran pendidikan di APBN 2012 sebesar Rp286,9 Triliun. Tahun lalu anggaran pendidikan Rp 266,9 Triliun, angka ini nyaris separuh dari total APBN 2005.
Celakanya anggaran segede gajah bengkak itu juga termaktub untuk gaji guru dan dosen. Sekedar membuat kita berpikir lagi, pada tahun 2011, dari anggaran pendidikan Rp 266,9 Triliun, yang untuk operasional melalui Kemendiknas hanya Rp 59 triliun (Rp29,1 Triliun untuk PT, hanya Rp 9,2 Triliun untuk SD, SMP).
Mengagetkan komposisi ini karena jumlah kampus hanya 82 dengan 2 juta mahasiswa. Sementara jumlah pendidikan dasar (SD-SMP) yang mencapai hampir 200 ribu dengan jumlah murid sebesar 35 juta anak, tapi porsinya lebih mini.
Jumlah kampus negeri dan swasta memang di atas 3.000 unit dengan jumlah mahasiswa sekitar 4,5 juta orang, tapi bukankah pemerintah hanya membantu kampus negeri. Sedang kampus swasta tidak dibiayi.
Jelas sekali politik anggaran yang aneh bin ajaib ini bersikap diskriminatif dan hanya bisa mengcover pendikan orang kaya. Tahun 2012 ini tidak ada yang bisa menjamin semua warga bisa mengenyam pendidikan murah. Orang miskin hanya sekolah di SD negeri, nilai ujian nasional yang jelek sehingga sulit masuk ke SMP negeri. Terpaksa orang miskin harus sekolah di SMP swasta yang lebih mahal karena tak dibantu pemerintah.
Jangan heran masih banyak masyarakat yang tidak berdaya untuk sekolah. Ada yang salah!
Dua Model Alternatif Pendidikan
Di tengah kesulitan menyekolahkan anak, pegiat pendidikan non formal terus mencari bentuknya. Ada dunia pesantren telah memperkenalkan sekolah yang murah bahkan beberapa diantaranya gratis. Di sisi lain, ada pegiat yang mengupayakan non formal baik berijazah atau tidak yang tetap memberi kesempatan warga belajar.
Ada dua model pendidikan non formal. Pertama, pendidikan non formal yang masih memperkenalkan kurikulum, raport, kenaikan kelas dan ijazah. Pendikan model ini dikenal dengan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat).
Masyarakat, biasanya berbentuk yayasan membentuk lembaga pendidikan. Lembaga ini akan mendapat ijin yang dikeluarkan oleh dinas pendidikan daerah. Dengan ijin itu, pihak sekolah berhak menyelenggaran ujian yang diakui pemerintah, mengeluarkan ijazah. Termasuk di dalamnya sekolah persamaan baik dalam bentuk Kejar Paket A (setara SD), B (setara SMP) dan C (setara SMA), TK maupun, PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Bedanya dengan sekolah biasa adalah jadwal belajar mengajar yang lebih fleksibel. "Di sini anak-anak sekolah 4 jam sehari. Soal absen lebih fleksibel," ujar Dedi Rosadi, Ketua Yayasan Nurani Insani Petamburan Jakarta Pusat kepada Beritasatu.com pekan lalu.
Kedua, si miskin yang tidak mampu juga bisa bergabung dengan sekolah non formal berbasis pengalaman dan kemandirian. Pengelola biasanya berlatar belakang LSM yang menitikberatkan pendidikan pedagogi. Anak didik ditempatkan sebagai subyek dan obyek secara bersamaan.
Peserta didik yang sebagian besar anak-anak pinggiran, korban kekerasan orang tua, aparat pemerintah, peraturan yang tidak adil dan seterusnya. Di anak didik diperlakukan untuk diajarkan keterampilan yang tidak melulu bermuara pada hasil ujian, rapor maupun ijazah. "Pendidikan pembebasan di mana anak didik diperlakukan sebagai pribadi yang utuh sebagai manusia. Menghilangkan beban menghapal, mengejar nilai mata pelajaran, kewajiban lulus dan beban lainnya yang membuat anak didik terbebani," ujar Soesilo Adinegoro, Ketua Yayasan Sanggar Akar Anak Indonesia kepada Beritasatu.com kemarin (31/3).
Menjadi pertanyaan kita bersama, kehadiran negara untuk pendidikan orang miskisn, semestinya bisa lebih optimal. Namun justru tersandera oleh keruwetan dalam mengalokasikan anggaran.