Prestasi Bisa Diraih Dengan Belajar Otonom
Sekolah otonom mengembangkan anak didik menjadi pribadi yang bertanggung pada pilihan dan pada lingkungan.
Kisruh Ujian Nasional dua tahun lalu seakan menjadi puncak gunung es karut marut pendidikan kita. Ujian Nasional dijadikan tolok ukur untuk menentukan kelulusan siswa. Stempel kelulusan yang disahkan Kementerian Pendidikan Nasional itu telah membunuh potensi kecerdasan siswa selama tiga tahun sebelumnya.
UN dijadikan satu-satunya alat evaluasi kemampuan siswa, sementara kemampuan siswa yang tak bisa langsung dinilai seperti logika berpikir, pemecahan masalah sama sekali tak dihitung.
Pendidikan formal justru menjadi mengubah siswa dari manusia yang sebenarnya menjadi mesin hitung yang harus selalu benar. Pemerintah pusat menetapkan target kelulusan satu daerah, pemerintah daerah menetapkan kelulusan tiap sekolah. Inilah wajah pendidikan yang instan. Sekolah telah didegradasikan perannya hanya menjadi mesin pencetak sarjana dengan nilai tinggi. Pragmatisme ini mengancam masa depan bangsa.
Kegelisahan semacam ini melandasi beberapa pegiat pendidikan untuk mengembangkan sistem pendidikan yang lebih humanis. Dunia pesantren disebut mengadopsi model ini. Demikian pula mendiang Romo Mangun Wijaya megembangkan model pendidikan berbasis keterampilan.
Model pembelajaran semacam ini terus tumbuh di Indonesia. Biasanya bermula dari advokasi perlindungan anak, Seperti pengalaman Sanggar Akar di pinggiran Kalimalang Jakarta Timur. Pendidikan ini bermula dari biro advokasi anak di Institut Sosial Jakarta, tahun 1994. Mereka menyebut dirinya dengan "Sekolah Otonom Sanggar Akar". Tahun ini terrdapat 45 anak didik.
Sebagian besar anak didiknya berasal dari anak-anak kaum miskin kota: anak jalanan yang tak diurus orang tua menjadi pengamen, pencopet, peminta-minta, anak tak jelas identitas orangtua, korban kekerasan rumah tangga dan lainnya.
Latar belakang siswa seperti ini, dengan tingkah laku yang kadang telah melampaui usianya, tentu tidak mudak jika harus duduk, menulis, menghapal dan membongkar ingatan. Diperlukan model pendidikan yang mengandalkan pengalaman dan kegiatan kreatif sebagai basis materi.
"Kalau belajar volume dan berat jenis benda akan lebih mudah dengan membuat balok yang dibikin puzzle. Itu lebih masuk dalam ingatan," ujar Soesilo Adinegoro, Ketua Yayayan Anak Akar Indonesia. Pendidikan bahasa Indonesia dibuat tanpa mempenghapal rumus menyusun kata, namun langsung dengan membuat puisi, esai, sinopsis buku, resensi.
Teknik pidato atau public speaking diajarkan dengan membuat kegiatan pentas para siswa. Saat yang sama anak didik diajarkan cara mengelola kegiatan. Materi manajemen organisasi dengan sendirinya sudah diajarkan dengan cara praktik.
Membentuk Pribadi Bertanggungjawab
Di Sanggar Akar tak ada istilah guru dan murid. Yang ada adalah siswa atau didik, fasiltator atau moderator dan apresiator (biasanya diambil dari ahli pada bidang ilmu tertentu).
Di sini juga tak ada rezim penilai kesuksesan yang hanya dikuasai oleh sekumpulan pejabat pendidikan. Di sini keberhasilan anak didik dinilai oleh sesama anak didik, fasilitator dan apresiator. Dengan serangkaian pendidikan yang partisipatoris ini, Sanggar Akar ingin menciptakan anak didik sebagai pribadi yang utuh.
Jangan heran ukuran kesuksesan belajar tidak dinilai oleh angka-angka yang merujuk pada ranking atau indeks prestasi namun dihitung dari tingkat inisiatif, kreatifitas, solidaritas dan kepekaan sosial. "Menjadi pribadi yang bertanggung pada pilihan dan pada lingkungan itu yang mau kita ciptakan," terang Soesilo.
Anak didik diberi keluasan untuk mengembangkan bakat seperti musik, film, teater, teknologi dan lainnya.
Meski sepertinya hanya bermain bukan berarti anak didik Sanggar Akar miskin prestasi. Di usia lembaga yang memasuki 15 tahun, alumni Sanggar akar menorehkan kemampuan menjadi tenaga pendidik di sejumlah sekolah di Jakarta, seperti SMA Pangudi Luhur, Theresia dan lainnya. Bahkan salah satu alumni di sini lolos seleksi untuk mengikuti summer program selama 45 hari di Negeri Paman Sam. Program kursus ini bertajuk "Study of the US Institute (SUSI) for student leaders on new media in Journalism pada bulan Juni-Juli 2012".
Seperti Sanggar Akar, Sekolah Tanpa Batas juga mengembangkan metode pembelajaran yang sama. Mereka bergerak melalui Perkumpulan Sekolah Tanpa Batas. untuk mengembangan pendidikan alternatif dan pengembangan profesi guru.
Lembaga yang dipimpin Bambang Wisudo, mantan jurnalis Kompas ini, memilih mengembangkan pendidikan kritis dan kreatif dengan cara bekerjasama dengan sekolah-sekolah alternatif, serikat guru dan berbagai institusi lainnya.
Menjawab masih dijadikannya keberhasilan anak didik dari nilai pelajaran (raport, indeks prestasi), yang tercermin sebagai persyaratan bekerja, Sanggar Akar menyadarinya. Secara bertahap dari tahun ke tahun mereka menyesuaikan metode belajar dengan perkembangan zaman.
Dari metode belajar berbasis pengalaman dan kegiatan kreatif. Kini mereka mengembangkan model kurikulum menjadi empat bagian yaitu kelas akademik, kelas kreatif dan dinamika hidup harian dan pengorganisasian even. Kelas akademik dan kelas kreatif adalah kegiatan belajar bersama yang diselenggarakan reguler 4 hari dalam seminggu.
Di kelas akademik ini pendidikan ditekankan pada pengembangan aspek kognitif, afektif dan reflektif. Sedang kelas kreatif lebih menekankan pengembangan aspek psikomotorik,yakni daya cipta dan eksploratif.