Penetapan Alokasi Kursi DPR Abaikan Keterwakilan Penduduk
DPR dituding tidak memperhatikan keterwakilan penduduk dalam kesepakatan penetapan alokasi kursi DPR. Data kependudukan tidak valid. Pun metode penetapan alokasi kursi hanya mengikuti undang-undang lama.
"Undang-Undang (UU) tidak menjamin munculnya prinsip keadilan melalui kursi perwakilan," kata August Mellaz, Konsultan matematika Pemilu dari Kemitraan-Perludem dalam diskusi soal UU Pemilu di kawasan Cikini, hari ini.
Dalam UU Pemilu yang disahkan Dewan pada pekan kedua April silam ditetapkan alokasi kursi tiga sampai 10 untuk DPR dan tiga sampai 12 untuk kursi DPRD. Hal tersebut tidak berubah dari aturan dalam UU sebelumnya yakni UU Nomor 10 tahun 2008.
Alokasi kursi yang ditetapkan DPR tersebut dinilai tidak valid karena tidak didasarkan pada data kependudukan terbaru. Namun tetap merujuk pada data penduduk oleh Kementerian Dalam Negeri. Padahal alokasi kursi menurut August harus berbasiskan jumlah penduduk.
Dia mencontohkan, beberapa propinsi mendapatkan kursi perwakilan lebih dari yang seharusnya, seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Barat dan Nanggroe Aceh Darussalam.
Sementara sejumlah propinsi mendapatkan kursi kurang dari yang seharusnya, seperti Riau, Kepulauan Riau dan Jawa Barat. "Tidak adanya sumber data kependudukan untuk alokasi kursi dan daerah pemilihan DPR, dengan kata lain data penduduk yang dipakai adalah data siluman," tambahnya.
Sementara Didik Supriyanto, konsultan Pemilu dari Kemitraan mengatakan mereka sudah memberikan saran soal ketidakvalidan data kependudukan yang digunakan Dewan empat bulan sebelum Rancangan Undang-Undang (RUU) itu disahkan agar menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010. Namun Dewan tetap mengembalikan lampiran pada data kependudukan Pemilu lama.
Ketidakvalidan data tersebut kemudian mengabaikan keterwakilan berdasarkan pasal 22E dan pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD). "Kami kaget ketika dilampirkan lampiran yang lama padahal kedudukan tiap warga negara sama dalam hukum dan pemerintah," kata Didik dalam kesempatan yang sama.
Keputusan tim perumus dan tim sinkronisasi tetap mempertahankan lampiran UU Nomor 10 tahun 2008 diartikan mengabaikan prinsip-prinsip Pemilu yang demokratis.
"Dalam melakukan alokasi 560 kursi DPR ke propinsi, lampiran UU Nomor 10 tahun 2008 tidak menggunakan metode proporsional, sehingga jumlah kursi yang diterima di beberapa propinsi tidak sesuai dengan jumlah penduduk," tutupnya.