Soal Ayat Ajaib Itu
Sejumlah individu dan kelompok sudah bersiap-siap untuk mengajukan gugatan uji materiil ke mahkamah konstitusi (MK) atas keputusan sidang paripurna DPR tentang BBM, Sabtu dinihari kemarin, yang memberikan wewenang pada pemrintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) berdasarkan mekanisme pasar.
Yang pertama harus disebut adalah Yusril Ihza Mahendra, bekas Menteri Hukum dan HAM di pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono walau hanya sekejap; orang yang selalu menang dalam persidangan di MK.
Yusril menilai keberadaan ayat 6a dalam UU APBNP 2012 yang berbunyi “Dalam hal harga minyak mentah rata-rata Indonesia dalam kurun waktu berjalan yaitu 6 bulan mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen, maka pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya", tidak mengandung kepastian hukum,sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Alasannya, ayat itu memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM tanpa memerlukan persetujuan DPR lagi.
Ayat 6a tersebut, kata Yusril, juga menabrak Pasal 33 UUD 1945.
Yang kedua, dari serikat buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menilai penambahan ayat tersebut tidak memihak rakyat.
Yang lain adalah Koalisi Masyarakat yang tergabung dalam Tim Advokasi Untuk Kedaulatan Energi (TAKE).
Ajaib
Patut disebut lagi, lahirnya Ayat 6a tersebut lahir dalam hiruk-pikuk sidang paripurna DPR, setelah rapat-rapat antara pemerintah dengan DPR (melalui beberapa Komisi dan Badan Anggaran) macet, tak menghasilkan kesepakatan; dan akhirnya beralih melaui lobi-lobi politik disela-sela paripurna.
Dan ajaibnya, dalam satu UU terdapat satu pasal yang berisi ayat-ayat yang saling menegasikan.
Pasal 7 Ayat 6 dalam UU itu berbunyi, "Pemerintah tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM)".
“Kedua ayat itu saling bertabrakan satu sama lain,” kata Yusril.
Yusril juga mengatakan Pasal 7 ayat 6 dan 6a setelah perubahan, tidak memenuhi syarat-syarat formil pembentukan sebuah undang-undang sebagaimana diatur dalam UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Prosedur perubahan UU APBN tersebut, menurut Yusril, juga melanggar ketentuan, sehingga secara formil maupun materil dapat dibatalkan oleh MK.
Cacat Formal
Sementara itu, koalisi masyarakat yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Kedaulatan Energi (TAKE) akan mengajukan uji materi Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2012 dalam kaitan dengan Undang-undang Minyak dan Gas (UU MIgas).
Anggota koalisi, Gunawan dari Indonesian Human Rights Comittee For Social Justice (IHCS) mengatakan pengajuan judicial review itu dilakukan karena rencana pemerintah menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sesuai dengan mekanisme pasar.
"Kita harus membela hak konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan diberikannya ijin kepada pemerintah untuk menaikan BBM berdasarkan mekanisme pasar," kata Gunawan di Kalibata, Jakarta Selatan, kemarin.
Terdapat dua hal penting terkait uji materi atas Undang-Undang Migas.
Pertama, pemerintah memandang Undang-Undang APBNP bersifat khusus atau lex spesialis dan tidak perlu mengacu pada UU lainnya, dan karena itu bisa mengabaikan UU lainnya yang sudah ada.
Dalam kerangka itulah uji materi terhadap UU Migas diperlukan agar MK memberikan penafsiran UU Migas merupakan Lex Specialis.
Dengan menganggap Undang-Undang APBNP sebagai lex spesialis, maka DPR mengesahkan APBNP 2012 dengan mengabaikan UU Migas, karena itu pengesahan UU APBNP di sdiang paripurna tersebut memiliki cacat formal.
Melanggar Konstitusi
Kembali ke Ayat 6a. Pada 2003, MK pernah membatalkan Pasal 28 Ayat 2 dalam UU MIgas 2001, karena, pasal itu yang pada intinya menyerahkan penentuan harga BBM berdasarkan mekanisme harga pasar, sehingga harganya naik-turun mengikuti fluktuasi harga minyak dunia.
MK menganggap pasal itu bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945, mengingat minyak dan gas adalah kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan berada dalam penguasaan negara.
“Harga jualnya harus berada di bawah kendali pemerintah dengan persetujuan DPR sebagai wakil rakyat,” kata Yusril.
Dengan menyerahkan harga BBM pada pasar, pemerintah bisa disebut melanggar kontitusi.
Namun, sayangnya, Pasal 28 itu masih berlaku sampai sekarang, karena belum ada aturan baru yang dijadikan acuan pemerintah dalam menentukan harga BBM.
Dan pemerintah, sampai sekarang, belum juga mengajukan pengganti pasal tersebut, dan menyerahkan ke sidang paripurna DPR.
Karena itu gerakan mengajukan uji materiil Pasal 6a dalam UU APBNP 2012 itu patut terus didukung.
Apalagi ada preseden baik secara hukum: MK pernah membatalkan pasal yang berisi aturan yang sama dan sejenis dalam UU Migas 2001.