Tarik Ulur BBM Picu RI Gagal Raih Investment Grade
Keputusan lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor's Ratings (S&P) belum menaikkan Indonesia menjadi layak investasi (Investment Grade/IG) menandakan masih ada kekhawatiran iklim investasi di Indonesia.
Pemerintah harus bangun komunikasi yang baik dengan investor global.
Menurut Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Raja Oktohari, tertundanya investmen grade dari S&P disebabkan kerawanan yang terjadi belakangan di Indonesia, seperti polemik Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.
"Ini menjadi tanggung jawab pemerintah menjaga iklim yang kondusif kepada kalangan industri. Keputusan tergesa-gesa pemerintah mengkomunikasikan wacana yang dapat menimbulkan polemik menjadi salah satu sentimen negatif investor," kata dia saat dihubungi Beritasatu.com, di Jakarta, hari ini.
Terakhir kali, S&P menaikkan peringkat Indonesia adalah pada tahun 2001, yakni dari BB menjadi BB+. Langkah S&P bertolakbelakang dengan sikap dua lembaga pemeringkat internasional lainnya yakni Moody's dan Fitch Ratings yang telah lebih dulu menempatkan Indonesia pada posisi layak investasi.
Raja mengatakan, polemik BBM bersubsidi yang menimbulkan demo besar-besaran membuat iklim dan industri Indonesia tercoreng. “Salah satu penyebabnya itu, sehingga perusahaan pemeringkat tersebut menganalisa Indonesia belum layak dapat peringkat investasi,” katanya
Gencarnya pemberitaan demo besar-besaran akibat kenaikan BBM subsidi membuat mata internasional melihat iklim investasi di Indonesia masih rawan.
Seharusnya pemerintah membangun komunikasi yang bagus agar potensi Indonesia dapat diketahui internasional. Dampaknya, akan mendorong pelaku industri maupun investor untuk menanamkan investasi di Indonesia.
“Potensi kita kan cukup banyak, misalnya di migas, maritim ataupun industri. Harusnya ini bisa tergali dengan baik jika saja komunikasi pemerintah berjalan dengan baik,” ujarnya.
Apalagi sejalan dengan adanya ASEAN Community pada 2015, seharusnya pemerintah sudah menyiapkan dan mengkoordinasikan setiap aspek. Padahal, sudah banyak negara-negara tetangga yang datang menemui Hipmi, untuk mempresentasikan potensi industrinya.
“Tapi apa yang terjadi dengan Indonesia, pemerintah justru sibuk mengurusi 2014 (pemilihan presiden), padahal siapapun yang nantinya terpilih, kita tetap akan dihadapkan pada ASEAN Community 2015, kalau kita tidak siap bahaya,” tuturnya.
Sebagai informasi S&P menyatakan, peringkat kredit Indonesia dibatasi rendahnya pendapatan per kapita, hambatan struktural dan institusional untuk pertumbuhan ekonomi. Selain itu, hal ini masih terbentur tingginya utang luar negeri maupun dangkalnya pasar modal domestik.