Garin: Soegija, Bukan Film untuk Mempengaruhi Keimanan
Berani menampilkan sebuah suguhan hiburan mendidik lewat tokoh yang mungkin tidak terpikir oleh sineas-sineas lain dengan mengedepankan Uskup Soegijapranata, seorang tokoh keagaaman yang hidup dan menginspirasi rakyat Semarang pada masa penjajahan Belanda serta Jepang dan pasca kemerdekaan RI, dinilai Garin Nugroho sebagai bentuk apresiasinya terhadap kepeduliannya atas apa yang terjadi belakangan ini di kehidupan bermasyarakat dan politik di Indonesia.
"Film hiburan memang harus komunikatif tanpa mendangkalkan kemanusiaan kita. Film ini tentang kepemimpinan di tengah kekacauan. Orang politik tidak punya mental politik ini jadi surat catatannya Romo Soegija, dan ini tepat untuk kehidupan sekarang ini. Jadi kata-kata di masa lampau ini buat kehidupan kita sekarang ini relevan," jelas Garin saat dijumpai di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan dalam acara jumpa pers film Soegija hari ini.
Pilihan sosok Soegija sendiri menurut Garin ialah karena alasan dialog dan narasi yang dalam tentang nilai moral dan kemanusiaan yang dimiliki Uskup pribumi pertama yang dipilih Vatikan tersebut.
"Saya selalu yakin kata-kata tokoh dalam film saya lewat Soegija itu akan membuka persoalan yang masih menjadi kelemahan terbesar bangsa ini. Founding Father kita baik Soegija, ataupun Soekarno mengatakan multikultur akan menjadi masalah di kemudian hari. Untuk itu saya pilih Soegija," paparnya.
Gagasan Garin yang kemudian ia eksekusi bersama tim produksi ini mendapat sambutan dari para artis pendukung film Soegija, tak terkecuali Nirwan Dewanto yang memerankan uskup asal Semarang tersebut.
"Pada akhirnya saya mengatakan iya, karena saya tertarik dengan ide besar, sikap yang tegas menghadapi, menghargai perbedaan dan toleransi lewat tokoh yang saya mainkan. Saya harus mengatakan bahwa Garin harus bergulat menghidupkan tokoh-tokoh, saya yakin ide besar ini akan hidup melalui tokoh ini," kata Nirwan.
Senada dengan Nirwan, aktor gaek Henky Solaiman yang berperan sebagai seorang Tionghoa sekaligus kakek dari tokoh Ling-Ling juga menyatakan kekagumannya atas karya terbaru Garin ini.
"Perlu diingat ini film Garin yang sangat tidak lamban, penuh edukasi dan sangat menghibur. Saya sangat bersyukur bisa terlibat di film ini yang menurut saya sangat indah," jelasnya.
Garin memang patut berbangga atas film teranyarnya ini karena mampu mengangkat sebuah isu yang relevan lewat pesan moral dalam kemasan sejarah bangsa. Namun begitu, ada komentar-komentar negatif yang menyertai film ini.
Dalam beberapa kesempatan dialog di dunia maya, beberapa pihak menganggap film Soegija coba mempengaruhi keimanan seseorang lewat pendekatan unsur agama tertentu. "Selama saya mencintai sebuah karya saya tidak akan takut. Semua adalah kegembiraan. Risiko kritik pasti akan ditemukan," ungkapnya.
Moeslim Abdurrachman selaku seorang Antropolog yang ditemui pada kesempatan yang sama ikut mengomentari hal tersebut. Baginya, film Soegija memiliki pemaknaan yang reflektif, sebagai perenungan dan bukan film picisan.
"Kalau saya Katolik dan membiayai film Garin ini, saya kecewa karena ini bukan film Uskup. Ini film tentang keberagaman, nasionalisme dan pluralisme, bukan film propaganda," tutur Moeslim.