Industrialisasi Media Gerus Kebebasan Pers
Saat ini, intervensi baik fisik maupun nonfisik semakin beragam. Baik yang berasal dari aparat, pejabat, masyarakat umum, perusahaan pemasang iklan bahkan dari internal perusahaan media.
Hal ini terungkap dalam diskusi publikKebebasan Pers dalam Industrialisasi Media yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang, Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI), Yayasan TIFA dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jateng di Kantor KPID Jawa Tengah, Semarang, Senin (21/5).
Hadir sebagai pembicara adalah Ketua AJI Indonesia Eko Maryadi, Program Manager Yayasan TIFA R Kristiawan, Direktur LeSPI Anto Prabowo, dan Komisioner KPID Jateng Sosiawan.
Menurut Anto Prabowo, kebebasan pers adalah kondisi pers berperan optimal untuk memenuhi hak-hak masyarakat, yaitu mendapatkan informasi publik dan hak untuk menyatakan pendapat tentang masalah-masalah publik.
"Kalau dulu intervensi berasal dari aparat pemerintah, saat ini masyarakat umum bahkan pemilik media pun bisa melakukan intervensi baik fisik maupun nonfisik," katanya.
Sosiawan menjelaskan, ada tiga tipologi media yang ada saat ini. Pertama, media yang berkualitas, yang masih menjunjung ideologi dan kode etik jurnalistik.
"Tipe media yang seperti ini sangat sedikit," kata Sosiawan.
Kemudian tipe kedua yakni media populer yang pada saat-saat tertentu bisa berkompromi dengan keadaan yang ada. Dan yang paling banyak yakni tipe ketiga, yakni media kuning yang mengabdi kepada kepentingan pasar dan bisnis.
Dijelaskan Sosiawan, kecenderungan saat ini, jumlah jurnalis di Indonesia semakin bertambah. Tapi di sini lain, secara kualitas, kemampuan jurnalis malah menurun. Sering ditemui adanya jurnalis yang mengabaikan kode etik jurnalistik.
"Atas nama kecepatan, etika sering diabaikan. Atas nama sensasi, empati atau simpati juga sering diabaikan," imbuh dia.
Hal ini juga diakui oleh Eko Maryadi atau yang akrab disapa Item. Jurnalis yang tidak profesional dan melanggar kode etik jurnalistik, bisa membuat marah masyarakat. Ada juga media yang memang tidak menjalankan kode etik jurnalistik, tapi malah memeras atau menipu atau yang biasa disebut mediabodrek. Hal ini kadang memicu masyarakat untuk berbuat kekerasan terhadap jurnalis.
Selain itu, ketidaktegasan aparat penegak hukum dalam mengusut kasus kekerasan terhadap jurnalis juga menjadi pemicu maraknya kekerasan terhadap jurnalis.
Dalam catatan AJI Indonesia selama ini, lebih dari 900 kasus terlaporkan tapi yang diusut hingga tuntas hanya sekitar 5%. Bahkan sejumlah kasus pembunuhan yang menimpa jurnalis, saat ini masih buram. Termasuk pembunuhan terhadap jurnalis Bernas Jogjakarta Fuad Muhammad Syafrudin atau Udin yang dua tahun lagi kedaluwarsa.
Salah satu penyebab tidak diusutnya sejumlah kasus kekerasan tersebut, lanjut Item, karena diduga salah satu pelakunya adalah aparat. Bisa dari polisi, TNI, pejabat, DPR atau lainnya. Karena tidak adanya perlindungan dan tindakan hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis oleh aparat, maka masyarakat pun bisa ikut-ikutan meniru.
Sementara itu Kristiawan memaparkan, pada tahun 2001 berdasarkan survei Reporters Without Borders (RSP), Indonesia tercatat sebagai negara dengan kebebasan pers paling baik se-Asia. Namun dari tahun ke tahun, peringkat ini terus merosot.
Bahkan pada 2011, Indonesia berada pada peringkat 146 dari 179 negara di dunia. Peringkat ini lebih rendah dari tahun 2009 yang berada di peringkat 100 dan tahun 2010 di peringkat 117.
Jumlah kekerasan terhadap jurnalis juga semakin meningkat. Berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Jakarta, kata Kristiawan, pada tahun 2010 terjadi 66 kekerasan terhadap jurnalis. Kemudian pada tahun 2011 meningkat menjadi 96 kasus.
"Dan pada 2012 dari Januari hingga Mei yang belum habis tanggalnya ini, sudah ada 45 kasus kekerasan," tukasnya.