“Suara Hantu” Pemilihan Gubernur DKI
Istilah “suara hantu” sering dikaitkan dalam pemilihan anggota parlemen. Disebut “suara hantu” karena pemilik suara itu sudah meninggal dunia atau tidak diketahui lagi jejaknya. Ghalibnya, mereka bisa memilih pada hari pencoblosan. Jelas, “suara hantu” untuk mendongkrak suara kandidat tertentu.
Begitulah riwayat “suara hantu” alias pemilih fiktif terus bergulir dari zaman ke zaman. Dan lazimnya, setiap pemilukada legislatif atau eksekutif, fitnah atau fakta perihal suara fiktif bergelinding. Tak pelak, kejutan ini bikin tim sukses calon yang digadang-gadangkan bisa senang atau susah. Ada patgulipat dalam lembaran kertas suara.
Dalam kaitan itu, sejenak warga DKI tersentak dengan laporan Pusat Pergerakan Pemuda Indonesia (P3I) yang menilai Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta tidak becus dan profesional dalam menetapkan daftar pemilih.
P3I menunding kinerja KPU DKI amburadul dalam pengelolaan data yang berpotensi merebak pemilih fiktif (ghost voter).
"Temuan pemilih fiktif ditemukan antara lain di Kelurahan Tanjung Duren Utara, Wijaya Kusuma, Krukut, Tangi, Duri Utara, Duri Kepah, Kebon Jeruk, Pekojan, dan Kapuk," kata Dewan Pendiri P3I Ahmad Nur dalam jumpa pers di di Jakarta hari ini.
Dalam pemantau seminggu terkuak data bahwa sekitar 15-20 persen pemilih fiktif ditemukan di setiap kelurahan. Dengan demikian, sambung Ahmad, jika menghitung keseluruhan terdapat sekitar 1,4 juta pemilih fiktif dari 7.044.991 total daftar pemilih sementara (DPS).
Jumlah DPS ini, berbeda dengan data yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri terkait jumlah warga DKI Jakarta yang berjumlah 5.644.991 jiwa berdasarkan hasil e-KTP.
Ahmad menambahkan telah terjadi kesalahan sistematis dan masif dalam penentuan DPS. Ada kerja sama serasi antara KPU DKI dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI dalam mengelar pemilukada.
Modus pengelembungan pemilih dilakukan antara lain dengan nomor induk kependudukan (NIK) dan nama yang sama digunakan dalam satu tempat pemungutan suara (TPS), NIK yang sama untuk satu nama yang sama namun punya hak pilih di beberapa TPS pada beberapa kelurahan. Selanjutnya, DPS yang dimiliki KPU DKI berbeda dengan di lapangan.
Nah apa yang dikhawatirkan dengan merajalelanya pemilih fiktif?
"Ini membuka peluang besar bagi oknum KPU DKI untuk melakukan jual beli 1,4 juta suara kepada pasangan kandidat tertentu," papar Ahmad.
Karena itu, P3I meminta KPU membatalkan pemilukada pada Rabu, 11 Juli hingga ada kepastian jumlah pemilih yang benar. Apa kata KPU DKI?
Ketua Pokja Pendataan Pemilih KPU DKI Aminullah menilai temuan ini sebagai masukkan yang dapat menjadi perbaikan untuk DPT.
"Ya tidak apa-apa sih, info itu bisa langsung kita tindaklanjuti, kami kan menerima masukan dari masyarakat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan DPT," jawab Aminullah kepada Beritasatu.com hari ini.
Namun demikian, Aminullah mempertanyatakan dasar dari penemuan adanya potensi pemilih fiktif atau ghost voters tersebut.
"Ada baiknya P3I segera menyerahkan laporan beserta dasar-dasar penghitungan kepada KPUD, jadi bisa kita tindaklanjuti jika memang benar ada kekeliruan. Kita kan masih memiliki waktu hingga 26 Mei sebelum DPT ditetapkan," tukasnya.
Apa dampak ditemukan pemilih bohong ini? Apakah ada pihak yang bernazar pemilukada DKI diundurkan atau mengharapkan ada pejabat gubernur DKI sehingga kekuatan Fauzi Bowo sama dengan lima calon gubernur lain? Bisakah pemilukada ini ditunda?
Direktur Lembaga Survei Indonesia (LSI), Burhanuddin Muchtadi yang dihubungi Beritasatu.com hari ini menjelaskan penundaan tidak mungkin dilakukan karena semuanya sudah terjadwal dalam Undang-Undang No.29/2007.
"Penundaan nggak akan mungkin. Jadwalnya sudah tertata dan ada dalam Undang-Undang," kata Burhan.
Menurut Burhan, solusi terbaik dari dugaan adanya masalah seperti pemilih fiktif bisa diatasi dengan mengadakan dialog terbuka antara Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dengan LSM yang menuding hal tersebut.
"Harus di-crosscheck apakah betul sebesar itu (data soal pemilih fiktif)," kata Burhan.
P3I sudah mempublikasikan korupsi suara pemilih yang berpotensi terjadi jual beli suara. Jika ini benar, sungguh mencederai pilar demokrasi yang menjunjung asas kejujuran, rahasia, adil dan langsung. Berharap panwas dengan anggota yang terbatas tidak akan sanggup menyibak kejahatan demokrasi ini.
Untuk itu, dibutuhkan kegigihan seluruh warga, kerja sama anggota tim sukses calon gubernur dan calon wakil gubernur menjadi pengawas kenduri demokrasi yang diadakan lima tahun sekali. Sebab “suara hantu” ini mesti dibumihanguskan untuk dikirim ke alam kubur dan pelaku "suara hantu" dikirim ke hotel prodeo.