Syarat Neneng Menyerah, Jadi Tahanan Rumah
Tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) tahun 2008, Neneng Sri Wahyuni, berniat kembali ke Indonesia setelah berstatus sebagai buronan untuk beberapa bulan.
Tetapi, niat pulang tersebut juga dibarengi dengan beberapa syarat untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu menjadi tahanan rumah.
Persyaratan tersebut dinyatakan salah satu penasehat hukum Nazaruddin yang juga berstatus sebagai kuasa hukum Neneng, Rufinus Hutahuruk.
"Benar seperti itu," tutur Rufinus, ketika ditanya mengenai kepulangan Neneng melalui pesan singkatnya, hari ini.
Sebelumnya, terdakwa Nazaruddin mengatakan bahwa istrinya, Neneng, akan kembali ke tanah air. Dengan catatan, KPK mampu menjelaskan perihal penetapan Neneng sebagai tersangka.
"Saya minta pengacara untuk datang ke KPK menanyakan apa dasar istri saya dijadikan tersangka. Karena yang menang dalam pembangunan itu adalah PT Alfindo. Dan istri saya tidak pernah menjadi pengurus di PT Alfindo. Setelah mendapat penjelasan dari KPK, saya dan keluarga berunding supaya istri saya pulang ke Indonesia," papar Nazaruddin, usai vonis Majelis Hakim di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (20/4) lalu.
KPK pada awal Agustus 2011 telah menetapkan Neneng Sri Wahyuni sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pekerjaan Supervisi Pembangkit Listrik (PSPL) di Ditjen P2MKT Kemenakertrans tahun anggaran 2008.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk terdakwa Timas Ginting dikatakan Nazaruddin dan Neneng menikmati uang sebesar Rp 2,7 miliar melalui PT Alfindo Nuratama selaku perusahaan pemenang pembangunan PLTS senilai Rp 8,9 miliar.