6 Petani Bakal Bakar Diri di Depan Istana
Sebanyak enam petani asal Pulau Padang, Kabupaten Meranti, Riau, dikabarkan akan melakukan aksi bakar diri di depan Istana Negara, Jakarta. Aksi itu dilakukan akibat konflik lahan pertanian dengan sebuah perusahaan.
"Kami sedang siap-siap bakar diri, sebagai bagian dari perjuangan kami, kalau pemerintah tidak mau mengurus kami," ujar Mohammad Ridwan dari Meranti, Riau, mewakili 5 petani lainnya di depan Istana Merdeka.
Untuk diketahui, para petani menuntut blok Pulau Padang seluas 41.205 ha dikeluarkan dari area konsesi Hutan Tanaman Industri PT Riau Andalan Pulp and Papers (RAPP).
Sementara, itu dua petani dari Kelompok Tani Torang Jaya Mandiri (KTTJM), Kabupaten Padang Lawas, Sumatra Utara, melakukan aksi mogok makan dan jahit mulut di depan Gedung DPRD setempat. Keduanya adalah Norman Sidabutar (36) dan H Silitonga (32).
Sebelum melakukan aksi jahit mulut, Norman dan Silitonga bersama sejumlah rekannya juga menggelar mogok makan, pada 6 Juni lalu. Akibat aksi itu tiga petani terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena kondisi kesehatan memburuk.
"Aksi jahit mulut sampai hari ini sudah dua orang. Setiap hari akan bertambah satu orang sampai tuntutan kami direspon oleh DPRD dan Pemerintah," demikian Thamrin Simatupang dari Medan, Sumatra utara mewakili 350 Kepala Keluarga.
Kedua aksi tersebut merupakan bentuk protes warga di Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Padang Lawas. Para petani melawan perampasan tanah mereka yang memiliki luas sekitar 1.500 hektare, oleh dua perusahaan perkebunan, PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dan dan PT Sumatera Silva Lestari (SSL).
Penyerobotan warga oleh kedua perusahaan itu juga diikuti dengan tindakan membakar rumah dan merusak tanaman perkebunan milik warga. Mereka menuntut DPRD Sumut menuntaskan masalah itu dan melepaskan seorang koleganya yang ditahan Polres Tapanuli Selatan
Selain itu rakyat dari desa Marendal, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang, menuntut tanah seluas 172 ha, yang saat ini dirampas secara paksa oleh PT Mitra Karya Pembangunan Lestari dipakai untuk pembangunan perumahan elit.
"Kami akan terus memperjuangkan hak-hak kami karena hanya tanah ini yang menjadi milik kami. Kami tidak akan membiarkan tanah kami dirampas," tegas Ibu Simamora dari Kelompok Tani 7179 Marendal mewakili 1.000 kepala keluarga
Di kabupaten yang sama, Kelompok tani dari desa Helvitia, Kecamatan Medan Deli, juga menuntut tanah seluas 74 Ha yang dirampas oleh PT ACR (Agung Cemara Reality). Sedianya perusahaan tersebut dilaporkan akan membangun perumahan elit.
"Kami sudah memperjuangkan sampai ke presiden lewat Wantimpres, ke ketua DPR DPR RI sampai hari ini tanah tempat tinggal kami tetap dirampas secara paksa. Kami tetap tidak terima tanah kami dirampas,”" tegas Saifal Bachri dari kelompok tani setempat yang mewakil 500 kepala keluarga.
Menanggapi banyaknya konflik agraria, ahli pembaharuan agraria Institut Pertanian Bogor (IPB), DR. Noer Fauzi Rachman mengatakan bahwa penyebab masalah itu adalah pemberian izin dan hak oleh pejabat publik dari Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, Kepala BPN, Gubernur dan Bupati. Mereka memasukkan tanah kelola milik rakyat tani dan adat setempet ke dalam konsesi badan usaha raksasa untuk produksi, ekstraksi maupun konservasi.
"Konflik yang panjang akan menciptakan krisis sosial yang kronis. Itu akan mendorong penduduk desa bermigrasi ke wilayah baru untuk mencari tanah pertanian, atau pergi ke kota menjadi kaum miskin perkotaan," demikian ujar aktivis tani lulusan Universitas Berkeley, Amerika Serikat ini dalam sebuah kajian di Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres).
Menurutnya penggunaan kekerasan oleh aparat, manipulasi dan penipuan dalam pengadaan tanah skala besar untuk berbagai proyek pembangunan dan usaha raksasa menimbulkan perlawanan langsung karena rakyat kehilangan tempat tinggal dan akses atas tanah sebagai alat produksi.
"Ini memperluas artikulasi konflik agraria ke bentuk-bentuk konflik etnis, agama, antar kampung dan antar penduduk asli dan pendatang," tegasnya.