Gubernur 'Gila' Untuk DKI 1
Jakarta butuh pemimpin 'gila'. Pasalnya, pemimpin 'gila' diyakini mampu menjawab tantangan dalam mengelola kota, yang dihiasi dengan berbagai masalah kompleks, seperti banjir, kemacetan, kemiskinan dan transportasi.
Tak cuma itu, pemimpin 'gila' juga dipercaya mampu mencari solusi dengan mengedepankan masyarakat umum dalam urutan pertama daripada kepentingan partai politik atau pihak-pihak lainnya.
"Jakarta itu, merupakan pusat pelayanan jasa yang sangat bagus, prima dan dapat diandalkan pemerintah pusat. Begitu banyak tantangan yang dihadapi untuk memperbaiki kota Jakarta agar menjadi kota yang sejajar dengan kota besar di negara-negara maju. Apa itu akan dapat dilakukan kalau gubernurnya tidak gila," kata Peneliti Senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro di Jakarta, Senin (18/6).
Menurutnya, Provinsi DKI Jakarta tidak akan mampu berkembang dengan baik bila memiliki pemimpin yang pro status quo. Dan hanya bergerak atau bekerja berdasarkan kontrak-kontrak politik tertentu saat dia mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta.
"Karena banyak bergerak berdasarkan kontrak politik, maka akan membuat dia tidak bisa melakukan sesuatu untuk peningkatan kualitas kota dan warga yang dipimpinnya. Nah, Jakarta tidak butuh pemimpin yang seperti itu. Jakarta butuh gubernur yang gila, yang dapat bekerja lepas dari seluruh kontrak politik, dan hanya bergerak berdasarkan aspirasi masyarakat yang memilihnya," ujar Siti.
Karena itu, Siti sangat mendukung adanya dua calon gubernur dari jalur independen. Mereka mau maju dan berjuang untuk menjadi pemimpin Kota Jakarta terlepas dari kontrak-kontrak politik dari partai politik yang mengusungnya. Sehingga, bila nanti mereka memenangkan pemilukada ini, bisa bergerak bebas membangun Jakarta karena tidak terjerat kontrak yang umumnya hanya menguntungkan satu pihak saja.
"Jadi Pemilukada 2012 tidak boleh lagi seperti Pemilukada 2007, karena sudah ada dua calon independen, yang termasuk orang yang tidak terikat dengan kontrak apa pun. Saya mengajak warga Jakarta, kita tidak boleh menjadi masyarakat apologi, yang membenarkan ketidakbenaran terjadi. Sudah saatnya membela kebenaran di Jakarta melalui pemimpin yang gila-gilaan berjuang untuk Jakarta," tegasnya.
Di mata publik parpol cenderung menjadikan dirinya sebagai semacam 'perusahaan' tempat orang berjudi 'nasib' untuk memenuhi ambisi dan kepentingan pribadinya. Nyaris tak ada hari tanpa berita korupsi politisi. Ongkos politik yang mahal, khususnya untuk mendapatkan tiket pencalonan kepala/wakil kepala daerah, jelas memiliki konsekuensi pada kualitas penyelenggaraan pemerintahan sebab tak ada makan siang gratis.
"Karena itu, kehadiran calon independen dalam memperebutkan kursi kepala/wakil kepala daerah bisa menjadi semacam penyejuk di tengah kepengapan bola politik," imbuhnya.
Siti menegaskan sebagai pengamat dan akademisi, sosok Faisal Basri, khususnya, bukan sosok yang asing di kalangan menengah atas. Tetapi, tidak demikian halnya di kalangan menengah bawah yang notabene pemilih mayoritas. Karena itu, dalam kedudukannya sebagai calon independen pilkada DKI Jakarta menjadi penting sebagai pengenalan diri, sosok, komitmen dan sepak terjangnya selama ini secara utuh.