Utang Indonesia Mencapai Rp1.944 Triliun
Kementerian Keuangan mencatat total utang pemerintah pusat yang berasal dari pinjaman dan penerbitan surat berharga negara per 31 Mei 2012 telah mencapai Rp1.944,14 triliun.
"Posisi utang per Mei tercatat Rp1.944,14 triliun," ujar Direktur Strategi dan Portofolio Utang Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Scenaider CH Siahaan dalam pemaparan di Jakarta, hari ini.
Scenaider mengatakan bahwa angka tersebut terdiri atas pinjaman luar negeri sebesar Rp639,88 triliun, pinjaman dalam negeri sebesar Rp1,15 triliun, dan penerbitan surat berharga negara sebesar Rp1.304,26 triliun.
Jumlah tersebut meningkat dibandingkan posisi utang pemerintah pada tahun 2011 sebesar Rp1.803,49 triliun dan pada tahun 2010 sebesar Rp1.676,85 triliun.
Menurut dia, tingkat pengelolaan utang pemerintah masih dalam kondisi baik karena rasio utang terhadap GDP masih berada dalam kisaran 24 persen, termasuk paling rendah di antara negara maju dan berkembang.
"Itu menunjukkan Indonesia masih memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajibannya terhadap kreditor," kata Scenaider.
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Rahmat Waluyanto mengatakan bahwa pinjaman luar negeri yang dilakukan pemerintah dalam enam tahun terakhir semakin menurun. Namun, penerbitan obligasi dalam negeri terus bertambah.
Penerbitan surat berharga negara berdenominasi rupiah per Mei 2012 tercatat sebesar Rp1.057,52 triliun, atau lebih tinggi dari posisi penerbitan tahun sebelumnya sebesar Rp992,03 triliun.
Menurut Rahmat, penerbitan surat berharga negara semakin meningkat untuk menutupi defisit anggaran serta melakukan pembayaran kembali pinjaman luar negeri yang telah dilakukan pemerintah.
"Kalau dalam bentuk SBN malah bertambah. Kenapa bertambah? Karena APBN-nya masih defisit dan kita merefinance pinjaman luar negeri dengan SBN," ujarnya.
Ia memastikan seandainya anggaran negara tidak mengalami defisit dan terjadi surplus, pemerintah tidak akan menambah utang dalam bentuk pinjaman. Namun, tetap akan menerbitkan obligasi sebagai acuan pasar keuangan.
"Seandainya APBN kita sudah tidak defisit dan surplus, kita tidak ada tambahan utang. Akan tetapi, utang dalam bentuk SBN tetap kita terbitkan karena pasar keuangan memerlukan benchmark," ujarnya