Dunia Berkumpul di Paris untuk Akhiri "Pembantaian Suriah"
Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan menhimbau sanksi lebih keras dari PBB terhadap Presiden Bashar al-Assad dan para pembantunya, saat lebih dari 100 negara-negara Barat dan Arab berjumpa hari ini di Paris, Prancis. Ajang itu sendiri diberi nama "Pembicaraan Teman-teman Suriah".
Sepeti kerap disebutkan oleh berbagai pihak, lebih dari 16.500 orang diperkirakan telah terbunuh dalam 16 bulan terakhir di Suriah, karena krisis yang dipenuhi penentangan terhadap rezim al-Assad. Banyak negara mengecam, yang antara lain menjadi latar belakang adanya pertemuan ini. Hanya saja, dua pendukung kuat Suriah yakni Rusia dan China --dan keduanya memiliki hak veto di PBB-- tidak ikut hadir di ajang ini.
Pertemuan di Paris ini sendiri merupakan tindak lanjut dari pertemuan di Tunis dan Istanbul beberapa waktu lalu, yang sama-sama sudah merekomendasikan pemberian sanksi lebih keras kepada pemerintahan Assad. China tidak menghadiri satu pun pertemuan itu, di mana AS, Prancis, Inggris, Jerman, dan Arab Saudi serta Qatar, menjadi pelopor bagi sekitar 60-an negara Barat dan Timur Tengah.
"Amerika Serikat akan memimpin imbauan lewat pembicaraan di Paris untuk diberikannya sebuah sanksi baru yang keras dari PBB terhadap rezim Assad dan kalangan pendukungnya," ungkap perwakilan pejabat Washington, Kamis (5/7) waktu setempat, yang juga menyebutkan bahwa Hillary Clinton akan hadir di sana.
"Kami (AS), dan kami yakin sebagian besar negara yang hadir di Paris, merasa bahwa (sanksi) itu harus termasuk Chapter 7 (mengenai) sanksi ekonomi terhadap pemerintahan Assad," ujar pejabat yang tak disebutkan namanya itu, yang ikut terbang bersama Clinton ke Paris.
"Banyak di antara negara yang datang ke Paris sudah memberlakukan sanksi itu (secara personal), tapi membuatnya menjadi global akan sangat penting. Itulah argumen yang akan terus kami coba sampaikan kepada Rusia dan China," lanjutnya.
Untuk diketahui, Chapter 7 Piagam PBB itu berisikan antara lain aturan mengenai sejumlah sanksi terhadap satu negara, mulai dari embargo ekonomi, senjata, hingga bila diperlukan (dilakukan) aksi kekuatan militer. Chapter 7 itu terakhir kali digunakan terhadap Libya pada tahun lalu.