Jokowi Musuh Bersama Sebuah Ujian
Kemenangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama yang telah resmi berdasarkan pengumuman dan hasil rekapitulasi KPU Jakarta, memastikan putaran kedua pemilihan gubernur (Pilgub) Jakarta akan memasuki putaran kedua yang diiukti oleh Joko Widodo-Basuki Thaja Purnama versus Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli. Sebagai putaran pemungkas yang akan menentukan siapa yang berhak menjadi Gubernur Jakarta yang sesungguhnya maka putaran kedua ini akan berlangsung sangat sengit serta penuh dengan dinamika strategi dan taktik, dan yang paling hangat adalah banyaknya unsur-unsur kepentingan yang saling beradu.
Salah satu kepentingan besar yang hendak menancapkan pengaruhnya adalah pengaruh atau peranan partai politik besar negeri ini. Sebagaimana lajimnya yang sering terjadi dalam atmosfir kehidupan politik Indonesia yang memiliki system multi partai menjadikan“Koalisi” semakin seksi, kemenangan pasangan Jokowi-Ahok tidak ubahnya bagaikan seorang putri raja nan cantik yang memiliki magnet kuat mengundang libido setiap pria untuk mempersuntingnya.
Dalam konteks Pilgub Jakarta putaran kedua, pasangan Jokowi-Ahok yang diusung PDIP dan Gerindra berhadapan dengan Partai Demokrat yang mengusung Foke, dengan kekalahan calon yang diusung Partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera pada putaran pertama menjadikan Partai Golkar dan PKS yang memiliki perolehan suara signifikan dalam pemilihan umum legislatif dan perolehan suara calon yang diusungnya pada putaran pertama Pilgub Jakarta membuat kedua partai ini dianggap memiliki pengaruh dalam putaran kedua dan perlu diperhitungkan keberadaannya.
Pada putaran pertama Pilgub Jakarta Jokowi-Ahok memperoleh suara 193.446 , sedangkan Foke-Nara memperoleh 170.006, perolehan suara calon gubernur besutan Golkar 25.902 dan PKS 54.504. Perolehan suara Cagub besutan Golkar dan PKS memiliki jumlah yang sangat berarti mempengaruhi perolehan suara kedua calon yang bertarung pada putaran kedua, sehingga pergerakan atau perubahan pilihan yang dilakukan pemilih Alex-Nono (Golkar) dan Hidayat-Didik (PKS) untuk memilih Jokowi-Ahok atau Foke-Nara akan berpengaruh besar menentukan kemenangan pasangan Jokowi atau Foke.
Berdasarkan data kuantitatif ini maka mengemuka pendapat yang menggambarkan bentuk pemberian dukungan Golkar atau PKS kesalah satu calon yang bertarung pada putaran kedua memiliki pengaruh signifikan sehingga dibuka pintu kemungkinan terjadinya koalisi diantara beberapa partai tersebut.
Partai yang dianggap memiliki peluang besar dan dianggap penting untuk melakukan koalisi kesalah satu calon petarung pada putaran kedua adalah Golkar dan PKS sehingga kedua partai ini menjadi pusat perhatian dalam menganalisis proses persaingan pemilihan Gubernur Jakarta putaran kedua yang akan dilaksanakan pada bulan September 2012.
Melihat koalisi yang terbentuk oleh pemerintahan SBY, sebenarnya Golkar dan PKS merupakan bagian dari Koalisi pemerintahan SBY dimana Partai Demokrat merupakan partainya pemerintah, dengan demikian semestinya tidak sulit menebak kemana arah pilihan kedua partai ini yaitu kembali ke dalam pangkuan koalisi sebagaimana yang telah dilakukan selama ini ikut bergabung dengan koalisi pemerintahan SBY atau Partai Demokrat.
Apabila Golkar dan PKS benar-benar kembali kedalam pangkuan koalisi pemerintahan SBY maka akan menjadikan atmosfir politik pemilihan gubernur Jakarta putaran kedua menjadikan pasangan Jokowi-Ahok menjadi musuh bersama serta PDIP dan Gerindra turut didalamnya. Mungkinkah hal ini terjadi?
Dalam politik apa yang tidak mungkin terjadi ? Apa yang sebelumnya dianggap tidak mungkin terjadi boleh jadi akan terjadi, dan demikian juga sebaliknya apa yang sebelumnya diperkirakan akan terjadi justru tidak terjadi, terutama berdasarkan pengalaman selama ini dalam atmosfir kehidupan politik Indonesia berlaku adagium yang berbunyi “Tidak ada yang abadi dalam politik kecuali perubahan itu sendiri”, dan “Tidak ada teman yang abadi dalam politik kecuali kepentingan”.
Itulah salah satu ciri khas kehidupan partai politik di Indonesia selalu sarat dengan sikap transaksional, membentuk koalisi dan berbagi. Sejak runtuhnya orde baru, partai Golkar merupakan satu-satunya partai yang selalu memiliki keinginan besar untuk selalu menjadi bagian dari lingkaran pemerintah yang berkuasa selaras dengan motto yang dipegang teguh para politisi Golkar yang berbunyi “SUARA GOLKAR ADALAH SUARA RAKYAT”, yang sebenarnya tersirat dalam slogan ini adalah golkar akan selalu memberikan suara kepada siapa saja pemimpin yang dipilih oleh rakyat, artinya siapapun pemimpin yang berkuasa berdasarkan suara pilihan rakyat maka partai golkar akan ikut memberikan suaranya kesana, jadi slogan itu bukan mengartikan bahwa Golkar akan selalu menyuarakan suara rakyat yang sesungguhnya, justru slogan tersebut memperteguh karakter partai golkar yang oportunis.
Partai Golkar yang merupakan satu-satunya partai pendukung rezim Suharto yang berkuasa selama 32 tahun selama orde baru menjadikan partai ini merasakan nikmatnya sebagai bagian dari penguasa dan membentuk karakternya untuk selalu menjadi bagian dari penguasa, maka dalam konteks pemilihan Gubernur Jakarta pada putaran kedua nanti Partai Golkar akan tetap mempertunjukkan sikapnya yang hanya mencari zona nyaman (Comfort Zone) berada dalam lingkaran penguasa.
Partai Keadilan Sejahtera, yang merupakan salah satu Partai yang memiliki perolehan suara sangat signifikan dalam pemilihan legislatif di Jakarta sebenarnya memiliki rekam jejak yang baik bagi masyarakat Jakarta, sehingga peranan PKS sangat diperhitungkan kiprahnya di daerah Khusus Ibukota Jakarta, namun perolehan suara Hidayat-Didik dalam putaran pertama Pilgub Jakarta Juli 2012 menjadi bahan perenungan dan pergulatan batin bagi elit Partai Keadilan Sejahtera sehingga menjadikan PKS merasa canggung menentukan keputusan untuk memilih ikut bergabung dengan pasangan Jokowi atau Foke.
Disatu sisi PKS ingin tetap menjadi bagian dari era reformasi, sebagai partai bersih dan kritis akan tetap berupaya menjadi bagian dari cerminan bisikan hati nurani masyarakat Jakarta yang merupakan konstituen terbesarnya dalam pemilihan legislatif, dalam konteks pemilihan gubernur Jakarta pada putaran pertama, kemenangan Jokowi yang dianggap para pengamat politik sebagai sebuah cerminan keinginan masyarakat Jakarta yang menginginkan perubahan dan memilih pemimpin yang dianggap merakyat serta sudah muak dengan pemimpin yang hanya asik dengan model pencitraan menjadikan PKS dituntut untuk melakukan pikir ulang tentang eksistensinya.
Disisi lain PKS yang merupakan bagian dari koalisi pemerintahan SBY yang nota bene mengusung Foke-Nara sebagai calon gubernur Jakarta menjadi pilihan dilematis bagi PKS. Tidak ikut barisan pilihan mitra koalisi akan menjadikan PKS semakin menunjukkan sikapnya sebagai “Anak Nakal” dalam kelompok koalisi, namun jika ikut barisan koalisi dalam menentukan dukungan terhadap Foke akan menjadikan PKS semakin menjauh dari kecenderungan fenomena pilihan masyarakat Jakarta akhir-akhir ini, artinya jika pasangan Jokowi yang memenangi putaran kedua pemilihan Gubernur Jakarta maka akan menjadikan PKS seakan tidak berempati terhadap perasaan konstituennya di Jakarta, sementara jika ikut mendukung Foke walaupun menang sebagai Gubernur Jakarta justru akan semakin memojokkan PKS dengan persepsi bahwa PKS merupakan bagian dari status quo, jika mendukung Foke dan ternyata mengalami kekalahan maka PKS akan mendapat kekalahan dua lipat, seperti ungkapan sebuah pepatah yang berbunyi “Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Lagi”.
Untuk menentukan pilihan hendak mendukung siapa dalam pemilihan gubernur Jakarta putaran kedua PKS memang terjebak dalam sikap “Bingung serta Bimbang”, bahkan terkesan “Gamang”, karena keputusannya untuk ikut sebagai bagian dari koalisi pemerintahan SBY dan merupakan salah satu partai politik yang paling terdepan menyatakan ikut mendukung SBY sebagai Presiden dan memutuskan sebagai bagian dari koalisi ternyata akhirnya menjadikan PKS lebih banyak memperoleh kerugian, yaitu pertama tidak bisa menjaga partainya untuk tetap kritis dan bersih karena sudah dianggap menjadi bagian dari pemerintahan yang semakin mendapat nilai minus dari masyarakat, dan yang kedua keikutsertaan PKS sebagai partai koalisi pemerintah menjadikan PKS terlihat canggung menyuarakan kepentingan terbesar konstituennya, misalnya hal ini terlihat atas sikap PKS ketika hendak memutuskan sikap mendukung atau menolak kebijaksanaan pemerintah dalam menentukan rencana kenaikan BBM.
Politisasi rencana pemerintah menaikkan harga BBM di gedung legeslatif beberapa waktu yang lalu menjadi turbulensi politik yang menarik PKS untuk terjebak kedalam pusaran deras dan menjadikan PKS dihadapkan kepada pilihan dilematis, disatu sisi harus berdiri tegak menolak kenaikan harga BBM untuk menjaga eksistensi sebagai partai yang mendukung jeritan hati nurani rakyat dan disisi lain menghadapi pertentangan dengan kepentingan bersama barisan koalisi.
Apa yang dilakukan PKS selama proses penentuan sikap DPR dalam menanggapi rencana pemerintah menaikkan harga BBM tersebut merupakan salah satu perspektif yang menggambarkan bagaimana sesungguhnya karakter PKS dan mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap keberadaan PKS akhir-akhir ini, dan menurunnya perolehan suara PKS dibandingan antara Pilgub Jakarta putaran pertama dibandingkan dengan perolehan suara ketika pemilihan umum legeslatif diduga karena ada kaitannya dengan berkurangnya simpati masyarakat Jakarta terhadap PKS yang dianggap semakin tidak konsekuen dengan jargon yang diusung sejak awal.
Keputusan partai PKS dalam menentukan sikap dalam putaran kedua pemilihan Gubernur Jakarta yang segera akan berlangsung akan mempengaruhi penilaian masyarakat Jakarta terutama konstituen PKS terhadap partai ini, oleh karena itu PKS dituntut untuk lebih hati-hati dan bijaksana dalam menentukan pilihan mendukung salah satu kandidat yang bertarung dalam putaran kedua pemilihan gubernur Jakarta.
Fenomena kemenangan pasangan Jokowi pada putaran pertama memang melahirkan atmosfir baru kehidupan politik nasional, karena apa yang terjadi di Jakarta tidak berlebihan jika disebut sebagai salah satu barometer politik nasional, karena memang Jakarta itu dapat disebut sebagai miniatur Indonesia. Dan keberhasilan Jokowi memperoleh kemenangan membuat partai-partai politik besar di Negeri ini dihadapkan kedalam pusaran pilihan dilematis dan dituntut untuk menentukan pilihan dengan bijak.
Memang berdasarkan peta politik nasional dalam perspektif koalisi pemerintahan yang dibentuk SBY seyogianya “Jokowi” merupakan musuh bersama Partai Demokrat, Partai Golkar dan PKS, tetapi apa yang tidak dapat dilihat secara kasat mata (Fenomena) dari kemenangan Jokowi dalam putaran pertama Pilgub Jakarta didalam kemenangan itu ada diselimuti pesan terselubung masyarakat Jakarta yang mengingkan terjadinya proses perubahan terhadap atmosfir kehidupan politik. Pesan terselubung ini menjadi batu ujian bagi partai politik yang menginginkan Jokowi sebagai musuh bersama dalam Pilgub Jakarta putaran kedua bulan September yang akan datang.
Kehadiran Joko Widodo untuk ikut bertarung dalam Pilgub Jakarta sungguh-sungguh melahirkan fenomena baru dan dapat menjadikan partai-partai politik besar di negeri ini tersengat dan merasakan “Cubitan genit” Jokowi untuk mempertanyakan eksistensi dan konsistensinya terhadap “Menyuarakan Suara Rakyat”, oleh karena itu menjadikan Jokowi sebagai musuh bersama dalam putaran kedua pemilihan Gubernur Jakarta bukan merupakan keputusan yang mudah, namun seperti yang telah dikemukan sebelumnya bahwa dalam atmosfir kehidupan politik Indonesia yang cenderung apapun mungkin terjadi, kita tunggu bersama apa sesungguhnya sikap dan keputusan Partai Golkar dan PKS dalam mendukung pasangan Jokowi atau Foke.