Tawaran Ngutang, bagian 1
Hari Senin lalu ada twit menarik dan lucu dari kawan saya @NdoroKakung , saya agak lupa isi persisnya tapi cukup menggelitik. Isinya kira-kira begini (maap kalo beda sama isi twitternya, ini point nya aja), “nawarin utang kartu kredit, KTA, skema investasi nggak hanya di telpon, sms dan bbm tapi sekarang sudah merambah ke twitter”. Yang mau saya garis bawahi sebenarnya adalah tawaran Ngutang ini yang semakin hari semakin agresif. Coba anda bayangkan, rasakan dan dengarkan ketika mendengar telpon berdering dari nomor yang tidak kita kenal sering kali kita jadi agak malas mengangkat karena kemungkinan yang menelpon adalah telemarketing yang menawarkan ngutang tadi, atau telemarketing yang menawarkan skema investasi. Makanya kita hanya selektif menjawab telpon dari no hp saja atau nomor yang kita kenal. Eh tapi mereka juga pintar dengan menelpon menggunakan nomor hp. Well anyway… kembali kepada Tawaran Ngutang tadi, kenapa bisa agresif sih?
Kalau dilihat sebenarnya itu adalah bagian dari bisnis yang dijalankan oleh teman-teman di industri keuangan khususnya perbankan. Ketika kita menabung bank akan mendapatkan dana kita. Dana ini tentu saja bukan dana gratis alias bank harus membayar “bunga” kepada penabung atau deposan. Nah permasalahannya adalah, apabila bank membayar ke penabung dan deposan sejumlah bunga yang oleh bank biasa disebut dengan biaya bunga (Deposito) yang besarnya sebut saja 6% sementara suku bunga SBI atau BI Rate kurang lebih sebesar 6% juga serta masih ada biaya-biaya lain yang harus ditanggung bank sehingga biaya dana tadi atau istilah keren nya cost of fund menjadi 7.50%-8%, lalu pertanyaanya kemana bank tersebut menempatkan atau istilahnya “melempar” dana tersebut untuk menutupi biaya-biaya mereka?. Sudah pasti kredit donk alias utang ke masyarakat.
Kalau dilihat masih banyak bank yang enggan kasih kredit ke pengusaha kecil, menengah ataupun besar (tapi yang super besar alias konglomerat biasanya justru ditawarin kredit terus). Yang dilakukan kemudian adalah dana-dana diperbankan tersebut disalurkan ke perorangan melalui kredit consumer atau kredit konsumtif. Kenapa? Mungkin trauma kasus kredit macet 97-98 dan peraturan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dan yang ketat dalam memberian kredit membuat bank hati-hati dalam memberi kredit ke perusahaan tapi justru kredit konsumtif kepada masyarakat. Lho? Kok justru ke masyarakat sih?
Dari sisi psikologis orang Indonesia banyak (bukan semua ya) yang “hobby berbelanja”, menghambur-hamburkan uang, memiliki gengsi yang tinggi, dan hidup diatas batas kemampuannya membuat penggunaan dan permintaan kredit ini tinggi. Bank atau lembaga keuangan lainnya berlomba-lomba menawarkan kartu kredit serta kredit tanpa jaminan dengan bunga yang relatif tinggi sehingga penghasilan bunga yang diterima oleh bank maupun lembaga keuangan lainnya lebih tinggi.
Apabila dalam kita berinvestasi dikenal istilah diversifikasibank ataupun lembaga keuangan lainnya juga ingin melakukan diversikasi debitor. Diversifikasi akan mengurangi resiko ingat Jadi ketika bank kasih kredit ke pengusaha Rp. 1 milyar ke satu perusahaan, apabila perusahaan ini tidak bisa membayar, macet atau bankrut atau tutup bank mempunyai potensi untuk kehilangan Rp. 1 milyar nya. Nah kalau bank menyalurkan kredit konsumtif (kartu kredit / KTA) dengan nilai Rp. 20 juta aja per orang, maka kredit tersebut akan dipakai oleh 50 orang untuk memasarkan dana sebesar Rp. 1 milyar. Dan apabila ada 1 orang yang gagal membayar kembali utangnya, maka bank hanya akan kehilangan 1/50 dari dana tersebut. Masuk diakal kan?
Apabila dalam kita berinvestasi dikenal istilah diversifikasibank ataupun lembaga keuangan lainnya juga ingin melakukan diversikasi debitor. Diversifikasi akan mengurangi resiko ingat Jadi ketika bank kasih kredit ke pengusaha Rp. 1 milyar ke satu perusahaan, apabila perusahaan ini tidak bisa membayar, macet atau bankrut atau tutup bank mempunyai potensi untuk kehilangan Rp. 1 milyar nya. Nah kalau bank menyalurkan kredit konsumtif (kartu kredit / KTA) dengan nilai Rp. 20 juta aja per orang, maka kredit tersebut akan dipakai oleh 50 orang untuk memasarkan dana sebesar Rp. 1 milyar. Dan apabila ada 1 orang yang gagal membayar kembali utangnya, maka bank hanya akan kehilangan 1/50 dari dana tersebut. Masuk diakal kan?
Pertanyaannya gimana cara kita agar tidak terbelit tawaran ngutang tadi? Disambung ditulisan berikutnya yaaa..
Aidil Akbar Madjid
Twitter @AidilAkbar
Fb: Aidil Akbar MAdjid
Twitter @AidilAkbar
Fb: Aidil Akbar MAdjid