Om Joko, oh Om Joko
Di tanah jawa ada 3 Joko yang terkenal. Yang pertama adalah Joko Tarub, legenda pencuri pakaian bidadari. Yang kedua ada Joko Tingkir, seorang pemuda sakti yang menjadi Sultan Kerajaan Mataram. Yang ketiga ada Joko Lelur, tokoh lagu campursari ciptaan Mbah Ranto Edi Gudel almarhum yang notabene adalah bapaknya mas Didi Kempot.
Tapi Joko yang ini juga tak kalah fantastis. Dialah Joko Widodo alias Jokowi. Pria sederhana kelahiran 21 Juni ini memang sangat fenomenal atas kiprahnya sebagai seorang kepala daerah.
Ada 3 hal yang saya catat tentang beliau yang saya pikir bukan ‘orang’ biasa.
Pertama, dialah yang pertama membuktikan semboyan ‘Berseri Tanpa Korupsi’, sementara kita lihat di daerah lain hanya menyisakan busa di mulut.
Kedua, saya tak menyangka selama menjabat sebagai walikota tak pernah ambil gaji [kompas,2/2].
Ketiga, mencermati perubahan kota Solo yang dahsyat selama masa pemerintahannya. Saya tak tahu apakah ketika membesut kota Solo beliau terinspirasi oleh Thomas Mann dan Albert Schweitzer, arsitek serta budayawan tenar dari Jerman. Saya juga tidak tahu apakah beliau juga membaca kisah kota Frankurt seusai perang dunia kedua.
Konon, waktu itu untuk merenovasi Frankurt, para kontraktor beramai-ramai merobohkan bangunan tua sisa perang dengan bangunan baru pencakar langit. Tapi itu tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat segera sadar itu akan membuat kota tanpa wajah. Maka dengan dipelopori dua orang tersebut di atas jadilah kota Frankurt seperti sekarang.
Jika Jokowi menimba ilmunya dari jurusan arsitektur, mungkin tidak terlalu mengejutkan. Dia pasti sudah pernah membaca buku semacam Urban Concervation-nya Nahoum Cohen, tapi Jokowi sekolahnya di kehutanan, profesinya sebelum jadi walikota adalah pengusaha mebel. Tapi wawasannya tentang urban design kok luar biasa.
Yang jelas itu karena pak wali orang yang rajin bertemu dengan berbagai elemen masyarakat, bukan sekedar urun rembug atau tukar pendapat, tapi juga konsistan mengimplementasikannya secara nyata. Untuk menjadi seorang pemimpin bukankah tak harus ahli dalam bidang tertentu. Saya kira cukuplah dengan kerendahan hati, keterbukaan, kejujuran dan ketulusan dalam mengabdikan diri kepada masyarakat yang memberikan kepercayaannya. Dan Jokowi bisa dijadikan teladannya.
Semua orang juga sudah tahu bagaimana proses pemindahan pedagang klithikan di Banjarsari ke komplek Silir yang tenang tanpa huru-hara seperti di tempat lain. Ketika ditanya Pak Jowowi hanya bilang ‘nguwongake uwong’sebagai resepnya. Yang masih menjadi kendala saat ini memang masalah banjir. Tapi jika Anda semua berkenan singgah ke kota Solo, sempatkan mampir di Sriwedari, Balekambang atau sekedar berjalan-jalan di sepanjang trotoar Jalan Slamet Riyadi, niscaya anda akan menemukan cita rasa yang sama dengan kota-kota di Eropa.
Terlebih jika Anda seorang kepala daerah, dipersilakan untuk berkenalan dengan Om Joko.Tak perlu mengaku ingin belajar, karena Om Joko bukan seorang guru. Cukup jabat tangannya dengan tersenyum, simak hasil karyanya baru Anda bicara.
Penulis: Hesti Mary Astuti
Sumber: Kompasiana