Jokowi, PKL, dan The Dancing Leader
Buku Jokowi Tokoh Perubahan. (Foto: Twitpic) |
Kini warga Jakarta tengah mengadakan perhelatan akbar: Pemilukada. Joko Widodo yang dikenal dengan nama singkat Jokowi, menjadi salah seorang calon Gubernur DKI Jakarta dengan Basuki Tjahaja P sebagai calon wakilnya. Sistem penghitungan cepat (quick count) memberikan gambaran, pasangan Jokowi-Basuki mencapai peringkat tertinggi dalam perolehan suara, lebih dari 42, 59 persen (Kompas, 13/7). Dipastikan Pemilukada akan memasuki putaran kedua.
Artikel ini dihadirkan bukan dimaksudkan untuk mendukung Jokowi. Saya sendiri bukan warga Jakarta.(Siapapun yang dipilih dan terpilih, monggo). Tetapi, ketika Jokowi tengah ‘bertarung’ dalam Pemilukada di DKI, tiba-tiba saja saya teringat dengan buku terbitanKompas (2011) yang pernah saya baca, berjudul: The Dancing Leader: Hening-Mengalir-Bertindak. Salah satu naskah di dalam buku kumpulan karangan itu ditulis oleh Sarlito Wirawan Sarwono, dosen Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Di dalam artikelnya yang bertajuk Pemimpin Bangsa Indonesia dan Kotak Pandora, Sarlito Wirawan Sarwono berkisah tentang kepemimpinan. Disebutkan, salah satu mata kuliah dalam program S-2 Psikologi Intervensi Sosial (In-sos) adalah Kapita Selekta Intervensi Sosial (In-sos). Mata kuliah ini mewajibkan mahasiswa mencari sendiri dan mengundang tokoh masyarakat yang dianggap bisa dijadikan contoh yang sesungguhnya dari penerapan intervensi-sosial di masyarakat. Salah satu tokoh yang diundang oleh mahasiswanya adalah Wali Kota Solo Ir. Joko Widodo. Mahasiswanya mengatakan, bahwa Jokowi memang layak diundang untuk diajak berbagi dengan mahasiswa karena prestasinya yang baik sebagai wali kota. Setelah Sarlito mengecek ke Google, ada tulisan tentang walikota Solo yang mengisahkan bagaimana sang wali kota membuat relokasi PKL Banjarsari berjalan bagus. Di dalam artikel yang beralamat di http//hetifah.com/ tersebut dikisahkan proses yang dilakukan Jokowi agar pedagang kaki lima (PKL) yang sudah lama berjualan di kawasan Monumen Juang 45 Banjarsari bersedia pindah ke lokasi yang baru di Pasar Semanggi yang diberi nama Pasarklithikan Notoharjo.
Dikisahkan di dalam situs itu seperti dikutip oleh Sarlito, pada awal rencana pemindahan itu para pedagang sangat keras menolak. Lalu, apa yang dilakukan Wali Kota Joko Widodo? Bisa saja dia memerintahkan pasukan satpol pp-nya menggusur paksa PKL tersebut. Tetapi, hal itu tidak dilakukannya. Sebaliknya, Jokowi justru melakukan langkah-langkah yang lebih sulit dan memakan waktu lama. Dia dan wakil walikota mengundang para PKL ke rumah dinas Loji Gandrung hingga 54 kali! Mereka diajak ngobrol biasa, tetapi hasil obrolan itu diserap dan dicatat untuk dianalisis oleh walikota dan stafnya guna mengidentifikasi aspirasi yang sesungguhnya dari para PKL itu dan dijadikan jalan keluarnya. Keinginan PKL dipenuhi, misalnya untuk mendapatkan kios murah dengan cara mencicil melalui iuran harian, ijin-ijin gratis, dan membuat lokasi baru agar ramai dengan mengubah trayek angkutan kota sehingga melalui lokasi baru tersebut.
Setelah semuanya matang dan mendapatkan persetujuan PKL, barulah walikota mengumumkan rencananya secara resmi. Perpindahan itupun dilakukan dengan kirab atau prosesi besar-besaran, didahului oleh panji-panji dan pusaka-pusakan serta bala tentara kraton dan diliput oleh media masa lokal, nasional, dan internasional. “Maka, berlangsunglah acara pemindahan itu dengan meriah, megah, dan semuanya senang. Tidak mengherankan jika pemindahan PKL yang lain dan penertiban pasar-pasar tradisional di Solo tidak perlu sampai 54 kali. Karena, orang sudah percaya dan yakin bahwa ujungnya adalah win-win solution,” demikian tertulis dalam situs tersebut.
Sarlito Wirawan Sarwono menilai, praktik kepemimpinan seperti Jokowi inilah yang disebut sebagai the dancing leader. Seperti halnya seorang penari, seorang pemimpin harus mampu menyajikan gerakan-gerakan indah, yang harus selalu mengikuti irama musik, tidak boleh keluar dari pakem, tetapi harus tetap kreatif untuk menghasilkan yang terbaik. Kunci keberhasilan Jokowi, tulis dosen psikologi UI tersebut, ada pada kesabarannya mendengarkan orang lain, kemampuannya untuk meninggikan harkat orang lain, dan menganggap setiap orang adalah aset, dan aset adalah untuk dibina, bukan dibinasakan.
Penulis: I ketut Suweca
Sumber: Kompasiana