Kajian Media, Jokowi-Ahok Raup 60%
Posisi Jokowi-Ahok terlalu jauh meninggalkan tingkat populeritas Foke-Nara. Sebulan silam posisi Jokowi-Ahok masih ada harapan untuk dikejar kubu Foke-Nara. Tetapi data yang penulis kaji dalam minggu pertama bulan September 2012 ini, posisi Jokowi-Ahok hampir mendekati prosentase 70 persen (saat ini berposisi 68%).
Dugaan sementara, angka itu akan diperoleh Jokowi-Ahok hingga waktu pemilihan yang masih tersisa seminggu lagi, apabila melihat betapa gencarnya media massa menulis dan membela posisi Jokowi-Ahok jika dibandingkan kegiatan yang dilakukan kubu Foke-Nara yang terlalu percaya diri akan prestasi kemenangan.
Setidaknya hal itu tercermin dalam dialog-dialog internal bahwa hampir seluruh tim Foke-Nara percaya bahwa mereka akan menang. Sebaliknya tim Jokowi-Ahok terus bekerja dengan mekanisme partisipan konstituante yang bersifat mandiri dan emosional, dimana teori sosial selalu mengatakan bahwa kelompok minoritas selalu solid dalam setiap gerakan.
Komposisi kepopuleran Ahok secara personal pada minggu pertama September ini, telah mengalahkan Foke. Padahal kajian media massa saya sebulan silam, tingkat populeritas Ahok masih di bawah Foke. Hal ini bisa disebabkan karena tim personal Ahok berhasil menggarap dengan baik selain media korporasi juga media alternatif. Sedangkan posisi Jokowi memang tidak bisa dikejar lagi oleh siapapun dalam soal pecaguban DKI Jakarta.
Hal ini bisa terjadi karena adanya keberpihakan media massa pada Jokowi yang terlalu jauh. Bahkan lemparan “bom” kubu Foke ke kubu Jokowi-Ahok dalam beberapa minggu ini –yang bersifat mengecilkan Jokowi–justru menimbulkan rasa simpati yang mendalam di kalangan media massa. Perasaan ini juga merupakan refleksi dari karakteristik masyarakat kita yang suka membela orang yang teraniaya.
Hipotesa ini dapat mengacu kepada pengalaman tingkat populeritas SBY dulu sekitar tahun 2004-2005 juga bermula dari posisi teraniaya secara opini lantaran disebut Taufik Keimas sebagai “kayak anak-anak.” Sementara itu, kubu Nachrowi tidak mengalami perubahan yang berarti. Walaupun naik secara kuantitatif tetapi tetap kalah dengan tingginya grafik kenaikan Jokowi-Ahok.
Banyak pihak memang tidak percaya bahwa populis secara media massa tidak ada hubungannya dengan voters. Tetapi sekali lagi penulis ingatkan bahwa kajian penulis terhadap kandidat gubernur Jawa Barat 2008 dan posisi populeritas SBY para periode kedua pemilihan presiden 2009, dimana populeritas mereka tercermin dalam kajian media massa berkorelasi dengan suara yang mereka peroleh. Memang tidak berkorelasi 100 persen, tetapi walau ada perbedaan posisi dan komposisi hanya dalam toleransi di bawah 10 persen. Artinya, jika posisi Jokowi-Ahok bisa diprediksi berdasarkan kajian media massa ini, maka Jokowi–Ahok setidaknya berpotensi meraup suara mencapai sekitar 60% pada putaran kedua pemilukada DKI Jakarta ini. Mestinya kubu Foke-Nara jangan pernah anggap enteng populeritas media massa apalagi pada masyarakat metropolis seperti Jakarta ini. Peran media massa dalam masyarakat metropolis seperti Jakarta tidak saja memperngaruhi opini publik tetapi juga berpengaruh pada aspek motorik voters, dan itu sangat berbahaya bagi kubu Foke-Nara. Salam perjuangan.
Penulis: Safari Ans
Sumber: Kompasiana