Golkar dan Demokrat Galau Hadapi Media
Kegagalan Kaderisasi Parpol |
"Ini akan memunculkan tokoh instan yang hanya tenar lewat iklan di media. Jadi partai akhirnya mengejar bagaimana caranya dikenal di media, bukan lagi melalui proses pengkaderan dan pelatihan politik. Ini era politisi pop,"
[Saan Mustopa, Wakil Sekjen Partai Demokrat]
Partai Demokrat dan Golongan Karya (Golkar) membenarkan hasil survei Prisma Resource Center yang memaparkan 83,4 persen masyarakat mendapatkan informasi seputar politik dari media televisi.
Hal tersebut membuat internal kedua partai itu 'galau'. Pasalnya, kredibilitas partai politik ditentukan oleh kaderisasi yang baik, bukan oleh pencitraan partai yang dibangun media.
"Ini akan memunculkan tokoh instan yang hanya tenar lewat iklan di media. Jadi partai akhirnya mengejar bagaimana caranya dikenal di media, bukan lagi melalui proses pengkaderan dan pelatihan politik. Ini era politisi pop," kata Wakil Sekjen Partai Demokrat Saan Mustopa di Hotel Santika, Jakarta, Minggu (21/10/2012).
Saan menjelaskan, konsekuensi dari hal itu adalah muncul anggapan di kalangan partai bahwa tidak perlu lagi pelatihan politik dan kaderasisasi. Hal ini, ucapnya, akan berimplikasi kepada kualitas politisi sendiri.
"Mentalitas dan konsistensi politisi kita hasilnya seperti sekarang ini. Lebih mementingkan pencitraan di media," tambahnya.
Sementara Wakil Sekjen Partai Golkar Nurul Arifin masih percaya peran kaderisasi dan underbow akan tetap dipegang parpol. Namun, ia tidak menampik anggapan bahwa media memiliki peran yang sangat berpengaruh membentuk citra parpol.
Sebab itu, dalam mengimbangi peran media, salah satu solusi adalah memanfaatkan kaderisasi danunderbow untuk mengenalkan parpol ke masyarakat.
"Ada pihak yang percaya pada mekanisme ke media, ada pihak yang peduli pada rakyat seperti membuat underbow yang turun ke rakyat. Saya sendiri konservatif. Saya masih percaya bahwa kaderisasi dan underbow itu perlu dalam partai politik," tutur Nurul.
Nurul mengatakan, prinsip politik instan lewat pencitraan media hanya akan menghasilkan politisi rapuh. Sebab, mereka tidak mengetahui subtansi politik. Politikus yang berasal dari pencitraan media, terangnya, wajib mendapatkan pendidikan politik.
Sebelumnya, Prisma Resource Center merilis hasil survei dengan pertanyaan, "Dari mana anda mendapatkan informasi politik?".
Sebesar 83,4 persen responden menjawab mendapatkan informasi dari media televisi. Peringkat kedua diduduki oleh surat kabar sebesar 5,4 persen. Radio di peringkat ketiga dengan 2,1 persen. Media online di peringkat keempat dengan 1,2 persen.
Survei Prisma ini diselenggarakan akhir Agustus hingga awal September 2012 di 33 provinsi dengan jumlah sampel 2.300 responden. Responden dipilih berdasarkan pertimbangan gender dengan komposisi responden laki-laki 50 persen dan perempuan 50 persen.
Sampling terkecil dalam survei berada pada tingkat keluarahan atau desa dengan jumlah sampel 10 responden per kelurahan atau desa. Dengan demikian survei ini mencakup 230 kelurahan di seluruh Indonesia. Diperkirakan margin of error kurang lebih 2,1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Hal tersebut membuat internal kedua partai itu 'galau'. Pasalnya, kredibilitas partai politik ditentukan oleh kaderisasi yang baik, bukan oleh pencitraan partai yang dibangun media.
"Ini akan memunculkan tokoh instan yang hanya tenar lewat iklan di media. Jadi partai akhirnya mengejar bagaimana caranya dikenal di media, bukan lagi melalui proses pengkaderan dan pelatihan politik. Ini era politisi pop," kata Wakil Sekjen Partai Demokrat Saan Mustopa di Hotel Santika, Jakarta, Minggu (21/10/2012).
Saan menjelaskan, konsekuensi dari hal itu adalah muncul anggapan di kalangan partai bahwa tidak perlu lagi pelatihan politik dan kaderasisasi. Hal ini, ucapnya, akan berimplikasi kepada kualitas politisi sendiri.
"Mentalitas dan konsistensi politisi kita hasilnya seperti sekarang ini. Lebih mementingkan pencitraan di media," tambahnya.
Sementara Wakil Sekjen Partai Golkar Nurul Arifin masih percaya peran kaderisasi dan underbow akan tetap dipegang parpol. Namun, ia tidak menampik anggapan bahwa media memiliki peran yang sangat berpengaruh membentuk citra parpol.
Sebab itu, dalam mengimbangi peran media, salah satu solusi adalah memanfaatkan kaderisasi danunderbow untuk mengenalkan parpol ke masyarakat.
"Ada pihak yang percaya pada mekanisme ke media, ada pihak yang peduli pada rakyat seperti membuat underbow yang turun ke rakyat. Saya sendiri konservatif. Saya masih percaya bahwa kaderisasi dan underbow itu perlu dalam partai politik," tutur Nurul.
Nurul mengatakan, prinsip politik instan lewat pencitraan media hanya akan menghasilkan politisi rapuh. Sebab, mereka tidak mengetahui subtansi politik. Politikus yang berasal dari pencitraan media, terangnya, wajib mendapatkan pendidikan politik.
Sebelumnya, Prisma Resource Center merilis hasil survei dengan pertanyaan, "Dari mana anda mendapatkan informasi politik?".
Sebesar 83,4 persen responden menjawab mendapatkan informasi dari media televisi. Peringkat kedua diduduki oleh surat kabar sebesar 5,4 persen. Radio di peringkat ketiga dengan 2,1 persen. Media online di peringkat keempat dengan 1,2 persen.
Survei Prisma ini diselenggarakan akhir Agustus hingga awal September 2012 di 33 provinsi dengan jumlah sampel 2.300 responden. Responden dipilih berdasarkan pertimbangan gender dengan komposisi responden laki-laki 50 persen dan perempuan 50 persen.
Sampling terkecil dalam survei berada pada tingkat keluarahan atau desa dengan jumlah sampel 10 responden per kelurahan atau desa. Dengan demikian survei ini mencakup 230 kelurahan di seluruh Indonesia. Diperkirakan margin of error kurang lebih 2,1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Editor: Gurun Ismalia
Sumber :