Matematika Politik dalam Pilkada DKI
Kemenangan Jokowi-Ahok pada Pemilukada DKI Jakarta Putaran Pertama, merupakan kemenangan politik diluar hitungan metode kuantitatif survey. Jokowi-Ahok, yang saat pra pemilukada diramalkan hanya mampu finish diurutan kedua, dibawah Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli (Foke-Nara), tiba-tiba melejit saat Pemilukada berlangsung. Jokowi-Ahok keluar sebagai The winner electability.
Sudah barang tentu, hasil yang diraih oleh Jokowi-Ahok bukanlah giving dari langit semata, bukan pula merupakan hasil yang hadir tanpa script, tanpa target prediktif dan tanpa skenario politik yang tertata rapi. Ada design kampanye, ada strategi infiltrasi masa, ada personal brand Jokowi yang diaduk sedimikan rupa, sehingga melahirkantaste yang pas untuk pemilih Jakarta. Hasilnya, KPU menetapkan Jokowi-Ahok unggul dengan persentasi 42,60%, jauh meninggalkan Foke-Nara.
Dari segi metodologi politik, apa yang dilakuan oleh Jokowi-Ahok adalah bagian dari pesan antitesa terhadap hegemonik survey, yang seakan menjadi panduan normatif politik modern. Banyak politisi yang percaya dengan angka-angka survey, bahkan tak segan mengelontorkan miliaran rupiah hanya untuk memakai sebuah lembaga survey. Padahal, apa yang dilakukan oleh lembaga survey hanyalah matematika kuantitatif,rapid survey yang belum tentu pas saat pencoblosan, karena hanya bermain pada domain generalisir, asumsi dan tidak merepresentasikan carakter semua pemilih.
Pada putaran pertama, Jokowi mampu dengan baik menunjukan semuanya. Berhasil melenggang bebas mengungguli Foke, adalah prestasi yang membuat namanya meroket, sejajar dengan para elit poltik nasional. ketokohanya melambung hingga aras politik 2014. Jokowi tersenyum, seni kelenturan berpolitiknya mampu merayu pemilih Jakarta.
Namun apakah secara matematis, kemenangan Jokowi-ahok 42,60% akan terbawah hingga Pilkada putaran kedua berlangsung ?
Pada wilayah inilah, unpredictable politik benar-benar menjadi ukurannya. Dalam logika politik, tidak pernah ada ukuran strategis yang menembus domain kemutlakan, segala kemungkinan bisa saja terjadi, ibarat permainan sepakbola, tim yang diunggulkan belum tentu akan leading pada hasil akhir. Persis dengan politik dalam demokrasi, dinamisasi issue dan peta politik dapat berubah hanya hitungan detik.
Jika rasio matematika kwantitatif yang kita pakai, maka angka 7,41% sisa yang harus dicari Jokowi-Ahok adalah angka yang praktis akan mudah didapat. Sederhanannya, Jokowi-ahok tinggal mendapatkan suara koalisi Hidayat-Didik yang 11,72%, maka akan mengunci hitungan kemenangan putaran kedua. Apalagi suara Hidayat-Didik, jika dilihat adalah murni suara ideologis simpatisan PKS di Jakarta. Namun, koalisi kuantitatif tentu tidak akan mudah terjadi, sebab banyak varian phscyo-politik yang akan menganjal Jokowi-Ahok mendapatkan suara koalisi Hidayat-Didik dari PKS.
Misalnya, kita tahu betul, PKS merupakan partai yang sangat istiqamah menjagaplatform ideologis yang mengental keIslamannya. PKS, walaupun telah berikrar menjadi partal inklusif, mampu menerima simpatisan dan kader yang non muslim, namun mereka sangat berhati-hati, mengikhlaskan pilihan politiknya pada calon pemimpin bukan dari Islam (kecuali dalam kondisi pemilukada, suara pemilih Islam adalah minoritas, sehingga harus realistis dalam berhitung). PKS selaku partai Islam, pasti paham betul tentang ayat Tuhan dalam Al-quran, “janganlah memilih pemimpin diluar agama-mu”. Dibanyak tempat Pilkada, PKS mampu konsisten membuktikan itu. Jika PKS melanggarnya maka efek psycho-politik dalam masyarakat, pasti akan negative. PKS, dinilai tak lagi berada di jalur Ikhwanul Musliminnya.
Selanjutnya, PKS sudah terlanjur cinta dengan koalisi nasional dalam Setgab, sehingga tidak mungkin mengorbankan cinta koalisi nasional, untuk kepentingan Jakarta. Apalagi Saat ini, dengan masuknya Golkar dan PPP mendukung Foke-Nara untuk PIlkada kedua, membuat Kesolidan partai-partai koalisi Setgab, makin terasa di Foke-Nara. PKS diyakini akan menjaga kesolidan tersebut, dengan memilih bergabung ke Foke-Nara. Walaupun PKS pun telah berpengalaman menjadi oposan partai di Jakarta, yang kalah karena pengeroyokan massal dalam Pemilukada DKI 2007.
Jika memang prediksi tersebut berjalan, maka sulit rasanya Jokowi-ahok melenggang bebas di putaran kedua. Tantangan terberat jokowi-ahok adalah meyakinkan Hidayat-Didik dan masa PKSnya, agar mampu memilih di luar fatsun Ideologi partai. Itupun catatannya, Hidayat-didik dapat berkoalisi dengan Jokowi-Ahok, sehingga suara pendukung PKS mudah diarahkan. Jika tidak, maka suara PKS adalah suara penentuyang sirathal mustaqim.
Mengkualitatifkan Pemilih
Hitung-hitungan kuantitatif hasiil pemilukada DKI putaran pertama memang menguntungkan Jokowi-ahok. Ibarat kate, kaki sebelah Jokowi-Ahok telah ada di pusaran kekuasaan Jakarta, tinggal one touch finishing, maka impian menjadi penguasa Ibu kota Negara benar-benar akan terwujud.
Namun, seperti logika nihilisme yang dibangun oleh Jokowi saat Pemilukada DKI Putaran pertama, maka pada Pemilukada DKI Putaran kedua, hegemonik kemenangan kwantitatif Jokowi, harus dilawan dengan mengkualitatifkan pemiliih. Seperti misalnya, Derasisme dalam memilih, Deindoktrinasi citra kandidat, dan kampanye kualitas.
Derasisme dalam memilih dimaksudkan, agar pemilih tidak hanya memilih diputaran kedua berdasarkan sentiment primordial kedaerahaan, jawa milih jawa, Betawi milih betawi, serta tionghoa milih tionghoa, dan seterusnya. Pemilih harus paham, bahwa Jakarta adalah miniature keberagamaan Indonesia, jadi memilih pemimpin adalah bukan karena latar belakang Rasis kedaerahan semata.
Deindoktrinasi citra, adalah hal yang harus dilawan. Jika orang menyerang SBY karena membangun dinasti citra politiknya, maka pemilih mulai hari ini harus diajarkan agar berhati-hati dengan budaya citra tanpa isi. Memilih pemimpin karena citra tanpa isi, adalah bahaya laten dalam demokrasi, sebab kualitas kandidat tertutup oleh tampilan citra “sok baik, murah senyum, apa adanya, dan urak-urakan”, yang secara varian kualitas jauh dari visi kecerdasan dan pengalamannya. Hasilnya pembangunan dipertaruhkan, karena pemimpin tak mampu menyelesaikan tugas dengan amanah, hingga akhir masa jabatan.
Kampanye berkualitas adalah hal yang harus dilakukan untuk mencerdaskan pemilih. Dengan maksud agar pemilih dapat benar-benar paham tentang visi, janji program, dan apa yang telah diperbuat oleh calon pemimpin. Sangat mengelikan, jika diputaran kedua nanti ada masyarakat yang memilih namun tidak tahu program kandidat yang dia pilih. Pemilih seperti itu layak memilih di zaman orde baru, yang memilih karena dipaksa oleh faktor x.
Sekali lagi, hasil pada Pemilukada DKI putaran pertama bukanlah kalkulasi matematik yang gampang dibulatkan dengan logika rumus numeratif pada Pemilukada Putaran kedua. Sisa 7,41% suara yang hsarus didapat oleh Jokowi-ahok demi menfinishkan permainan, tidak akan mudah didapatkan. Sebab rumus matematika dalam politik adalah rumus berhitung tingkat tinggi, yang angkanya berwujud taktis dan strategi dilapangan. Yang pandai berhitung politik dialah yang menang ?
Penulis: Arista Junaidi
Wakil Sekretaris Jenderal PSDA PB HMI 2010-2012.