Salahkah Kami (Anak Muda Bandung) Mendukung Jokowi?
“Di tengah lorong gelap yang terasa panjang, Jokowi (dan tokoh-tokoh seperti dia) menunjukkan kepada kita bahwa nun di sana ada seberkas sinar yang akan menyudahi gulita dan menggantinya dengan benderang.”
Sebaris kalimat di atas ialah kutipan dari catatan epilog Eep Saefullah Fatah dalam buku “Jokowi: Dari Jualan Kursi Hingga Dua Kali Mendapatkan Kursi”. Tak berhenti di situ, Eep juga menuliskan betapa Jokowi adalah sebuah harapan. Kehadirannya menggarisbawahi fakta bahwa -di tengah buruk rupa wajah otonomi daerah- selalu saja tersedia harapan. Dan harapan itu bernama Jokowi.
Dilahirkan pada 21 Juli 1961, nama Jokowi langsung meroket di kancah perpolitikan Nasioanal. Ia menjadi magnet media. Nama Jokowi bak berubah menjadi wabah virus yang menebarkan semangat perubahan. Tidak hanya di Solo, wabah itu merambah hingga ke daerah Bandung, Jawa Barat.
Berbagai penghargaan telah ia terima sebagai buah dedikasi dan kerja kerasnya selama memimpin Kota Solo. Sebut saja, penghargaan “10 Tokoh 2008″ versi Majalah Tempo, dianugerahi Bung Hatta Award 2010, mendapat MIPI Award 2011, sebagai Wali Kota terbaik versi Depdagri, dan dinobatkan sebagai “Tokoh Perubahan 2010″ oleh Harian Republika.
Semua penghargaan itu menunjukkan bahwa, mengutip Zainudin HM, wartawan senior Rakyat Merdeka, Jokowi bukanlah sembarang pejabat publik. Bukan pula pejabat karbitan atau titipan partai politik. Dan Jokowi bukanlah Wali Kota biasa.
Pesona dirinya, yang ditampilkan melalui sosok yang sederhana, sanggup membius rakyat Indonesia. Tak terkecuali sebuah tempat di pelosok Kota Bandung. Sosoknya memang tak pernah kami hadirkan, namun “angin” perubahan yang ia tawarkan terhembus hingga ke Kota kami.
Jokowi tak sembarang membius kami -termasuk saya, sekumpulan anak muda yang tergabung dalam Forum Diskusi Bambu Runcing. Namun kehadirannya yang sanggup menggarisbawahi arti kata “Pemimpin” (dengan P besar)-lah yang “membius” kami, para anak muda yang sempat goyah karena kehilangan tokoh panutan yang merakyat.
Melalui gebrakannya yang memindahkan 998 Pedagang Kaki Lima (PKL) dengan cara 51 kali jamuan makan malam, seakan menyadarkan kami tentang arti “Pemimpin” yang sebenarnya. Pemimpin yang bukan sekedar bertahta di atas kursi Gubernur, Bupati atau Wali Kota, sembari mempertontonkan “kepongahan” kekuasaan politik, melainkan “Pemimipin” yang sanggup menyentuh apa yang “tak tersentuh”.
Karenanya, menurut kami, wajar jika kami menaruh harapan besar terhadap figur seorang Jokowi (dan tokoh-tokoh sepertinya). Walau kami bukanlah penduduk Jakarta, melainkan Jawa Barat, kami tetap berharap Jokowi bisa memimpin Kota Jakarta sebagai “tetangga” Bandung, Kota tempat kami bernaung.
Bukan kenapa dan apa-apa, melainkan kami berharap agar “setetes” embun perubahan yang ia tawarkan di “padang tandus” bernama Jakarta, segera menular ke “padang tandus” tetangganya, yaitu Kota Bandung.
Jadi, salahkah kami, warga Jawa Barat, turut mendukung Jokowi untuk Gubernur Jakarta Periode berikutnya?. Dan melalui opini “remeh-temeh- tak berarti ini, kami berharap agar Pak Jokowi tetap tak berubah, dengan sosoknya yang sederhana, murah senyum, dan mampu “memanusiakan manusia”. Agar kami tak kecewa dibuatnya, serta kaki kami kembali goyah menapak karena kehilangan figur seorang “Pemimpin”.
Maju terus Pak Jokowi. Kami dari Bandung mendukungmu. Meski suara kami tak sebesar elite politik, tapi kami berharap “angin” perubahan itu juga akan tiba di Kota Kami, Bandung.
Salam berang-berang.
Selamat menikmati hidangan.
Penulis: Dewa Gilang
Sumber: Kompasiana