Ahok, The Untold Stories
Akhir-akhir ini 3 hal yg menjadi black campaign adalah dia cina, kristen, dan liberal. Untuk menjelaskan hal ini, sangat penting untuk menjelaskan trackrecord
Ahok. Ahok dilahirkan 46 tahun yang lalu, anak tertua dari keluarga Kim Nam, keluarga Tionghoa yang termasyhur namanya di pulau Belitung karena kedermawaanya. Kim Nam adalah tokoh masyarakat Belitung. Pembela masyarakat miskin, bahkan mau berhutang pada org lain, untuk memberi uang pada orang susah. Kim Nam adalah nama Panggilan ayah Basuki, selayaknya Basuki dipanggil Ahok. Nama lengkapnya adalah Indera Tjahaja Purnama. Beliau sudah meninggal dunia.
Selalu Ingin Tahu
Selalu Ingin Tahu
Basuki dibesarkan dengan keras, dididik agar bisa kemudian berguna bagi masyarakat belitung, tidak boleh sombong, inilah yang diajarkan Kim Nam. Basuki diwajibkan untuk selalu bersalaman dengan yang tua. Meski mereka kondisinya lebih berada di banding yang lain, Basuki harus bisa bergaul dengan teman-temannya. Basuki tidak dididik sebagai orang Tionghoa, tapi sebagai anak indonesia dari Kampung Manggar. Kim Nam selalu tegaskan itu padanya.
Basuki tumbuh menjadi anak yang selalu ingin tahu. Temannya semuanya anak-anak melayu dan dia bersekolah di SD negeri di desa laskar pelangi. Meski membaur, bukan berarti
Basuki bisa lepas dari tindakan diskriminasi karena dia adalah minoritas. Hal seperti ini tetap sering terjadi. Ketika SD, Basuki pernah dilarang menjadi penggerek bendera di sekolah ketika upacara karena warna kulitnya. Basuki kecewa, dia mengadukan hal tersebut pada ayahnya. Ayahnya, menyuruh basuki bersabar. saatnya akan tiba ketika orang terima kita, kata ayahnya. Basuki dilarang untuk berkecil hati, menurut ayahnya Basuki harus tetap berusaha terus. Tak boleh dendam.
Anak Yang Cerdas
Anak Yang Cerdas
Terkait agama, basuki juga sempat tidak di perbolehkan untuk masuk kelas agama islam, meski ia sangat ingin sekali. Semua teman-temannya bisa baca Alquran, Basuki pun ingin bisa. Namun ia disuruh pulang ketika datang ke TPA untuk belajar Alquran. Tetapi Basuki tetap tumbuh dan berkembang sebagai warga Belitung. Dia fasih berbahasa Belitung. Pergaulannya tidak menganggap dia orang lain.
Basuki adalah anak yang cerdas, dia selalu menjadi juara kelas. Tahun 1977 dia bersekolah di SMP Negeri di daerah Gantung. Menyadari potensi anaknya yang cerdas dan kondisi ekonomi yang baik, Kim Nam memutuskan untuk mengirim Basuki bersekolah SMA ke Jakarta. Usaha keluarga Kim Nam memang sempat down ketika Basuki kecil, bahkan Ibunya sempat bekerja menjadi tukang cuci. Harapan ayahnya, Basuki bisa bersekolah menjadi dokter karena di Belitung begitu banyak orang meninggal tidak mendapat akses kesehatan. Basuki bersekolah di SMA PSKD III itulah pertama kali ia menginjakan kakinya ke Jakarta 31 tahun yang lalu.
Basuki bukan orang baru di Jakarta.
Namun darah muda Basuki memang bergolak, dia kabur kuliah dari pendidikan dokter UKI, kemudian pindah ke teknik geologi Trisakti. Waktu berlanjut sampai akhirnya Basuki menyelesaikan pendidikan S2 dan mendirikan perusahaan di Belitung. Perusahaan Basuki waktu itu akhirnya terpaksa ia tutup karena terbentur kebijakan korup pejabat. Basuki kecewa, dia akhirnya berniat mau meninggalkan negara ini untuk berkarir di luar negeri. Namun hal ini dilarang oleh ayahnya. Basuki disuruh bertahan, petuah ayahnya waktu itu. Basuki harus bersabar, kalau tidak setuju ubahlah sendiri, jangan lari. “Orang miskin jangan lawan orang kaya, orang kaya jangan lawan pejabat.” begitu kata ayahnya. Sebagus apapun orang kaya bisa menolong orang miskin, tapi yg bisa membantu mereka secara hakiki adalah pejabat melalui kebijakannya.
Menjadi Bupati
Menjadi Bupati
Namun setelah orang tuanya meninggal, Basuki baru masuk ke dunia politik. Dia memulai karir politik dari bawah dengan partai kecil. Basuki awalnya hanya anggota DPRD Belitung Timur. Namun setahun kemudian memenangkan pilkada Belitung Timur. Sejak menjadi bupati, namanya sebagai bupati mulai dikenal di tingkat nasional. Kebijakannya brilian dan Ia adalah bupati pertama beretnis Tionghoa. Karena kebijakannya sebagai bupati,
Basuki di daulat menjadi tokoh yg mengubah Indonesia oleh majalah Tempo. Dia letakkan hal-hal baru sebagai pejabat.
Meski hanya 1 tahun 4 bulan saja menabat sebagai bupati Belitung, karena harus mengundurkan diri sebagai cagub Prov. Babel, Basuki mewariskan peninggalan-peninggalan besar.
Basuki sukses mengasuransikan kesehatan semua warganya. Siapapun warga Beltim, tidak perlu lagi khawatir sakit, tinggal ke rumah sakit. Dia mengecek langsung semua kebutuhan masyarakat ke lapangan dan menggodok kebijakan dengan sistem yang keras terhadap birokrasinya.
Selama menjadi bupati, Basuki tidak pernah menutup kaca ketika berada di atas mobil. Dia tak menunggu warga mengulurkan tangan, dia selalu duluan mengulurkan tangannya. Namun peristiwa diskriminasi belum juga selesai meski Basuki telah terpilih menjadi bupati. Masih banyak hal-hal yang tidak mengenakkan. Awal menjadi bupati, ia dicegah untuk tidak menjadi pembina upacara. Masyarakat tidak mau hormat sama orang China, begitu isunya.
Namun Basuki memaksa. Dia tidak mau diancam-ancam sebagai pemimpin. Ia tetap ngotot mau jadi pembina upacara. “Dulu ketika SD saya dilarang jadi penggerek bendera, sekarang sudah menjadi bupati masih juga tak boleh jadi pembina. Kamu tembak juga saya rela!” tukasnya.
Ketika Basuki menjadi bupati, bukan masyarakat muslim yang protes dengan kebijakannya sebagai bupati. Malah umat yang seagama dengannya. Basuki dituduh tidak memperhatikan pembangunan gereja, malah mempermudah dan menyumbang pembangunan masjid. Basuki berang, menurutnya gereja tidak perlu dibantu. “Kalian saweran aja, gereja udh jadi. Kalau masjid memang harus disokong.” Jelas Basuki. Masyarakat Muslim jumlahnya 93% dan masjid butuh banyak. Gereja cuma butuh sedikit dan umat kristen lebih baik ekonominya. Selain membangun mesjid,
Basuki juga menaik-hajikan ustad dan ulama-ulama yang belum bergelar haji. Lebih dari 100 orang dihajikan.
Basuki bahkan ikut safari ramadhan ketika bulan ramadhan tiba. Meski Ia harus menunggu saja di parkiran sampai selesai.
Gubernur lah yang bolak-balik mesjid-parkiran untuk mengantarkan makanan. Tetap Basuki selalu bertahan dalam safari ramadhan.
Semua Warga Memiliki Nomer Hpnya
Semua Warga Memiliki Nomer Hpnya
Dalam setiap kampanyenya, Basuki juga tidak pernah menggunakan sembako atau bagi-bagi duit. Dia percaya dengan kartu nama, dan nomor hp nya. Menurut Basuki yang dibutuhkan rakyat adalah no. hp nya. Rakyat harus bisa menggapai dan mengakses pemimpinnya. Sebagian besar warga Belitung, mulai dari nelayan, pedagang, sampai PNS punya nomor Hp Bupati. Semua hal bisa dilaporkan langsung.
Pernah ada nelayan yg melaporkan LSM yg menimbun solar subsidi di Manggar, Basuki langsung turun ke lapangan dan mengganti LSM tersebut. Ada juga pungutan liar yang dilaporkan oleh murid SMA,
Basuki turun dan mengusut korupsi di sekolah itu. Basuki memegang hp nya sendiri dan Ia selalu mengusahakan membantu orang yang mengeluh. Disitu ia sadar kondisi sebenarnya dari kebijakannya. Pemimpin yang tahu persis kebijakannya dirasakan rakyat atau tidak, itulah Basuki. Semua bisa menggapainya.
Kampanye no HP ini tetap dipertahankan Basuki di Jakarta. Yang pernah bertemu Basuki, pasti liat dia agak “sibuk” sama hp nya. Jika masih ada yang mempertanyakan Pak
Basuki tidak akan adil karena berlatar belakang agama minoritas, berarti dia belum mengenal siapa Basuki.
Nah, ada yang menarik lagi. Sebagian bilang ini kelebihan, sebagian ada yang bilang ini kekurangan. Yaitu, Pak
Basuki ini bicaranya ceplas-ceplos. Silahkan liat di youtube Pak Basuki sebagai anggota DPR. Ucapannya cepat, tegas, dan emosional. Dia orang yang tak sanggup menyembunyikan kegelisahannya. Namun seringkali karena kecepatannya itu, omongan Pak Basuki sering diputarbalikkan dan dipotong-potong sehingga salah arti. Masih ingat cerita tentang ayat-ayat konstitusi kemarin? Itu hasil putarbalikkan dari tetangga kita tercinta. Jika dilihat keseluruhan maksud Pak Basuki lebih dari itu. Harus diingat Pak
Basuki adalah seorang nasionalis sejati. Dia mengedepankan persatuan dan kepentingan nasional dan menepikan SARA.
Sebagai pejabat negara, pemimpin memang harus patuh kepada undang-undang atau ayat-ayat konstitusi. Dia harus berjalan dalam koridor hukum, harus bersih dan transparan. Karena ayat-ayat agama kedudukannya jauh lebih tinggi kedudukannya sehingga sudah seharusnya dijalankan. Kita tidak bisa memakai ayat-ayat agama dalam menjalankan hukum di negara oleh karena itu hukum konstitusi harus di tegakkan.
Inget waktu itu tim nya Foke mencoba merapat ke Ahok untuk dijadiin wakilnya. Gue bilang “Aku gak mau dukung bapak kalo jadi wakilnya Foke”. Nono Sampono waktu itu juga merapat ke Ahok untuk dijadiin wakilnya. Karena Nono tahu sekali track record Ahok kayak gimana. Namun Ahok menolak. Sebelumnya, calon Independen juga dukung Ahok maju gubernur dengan dukungan massanya. Tapi itu orang deklarasiin sendiri bareng anaknya alm.pelawak. Akhirnya ketika bertemu dengan Jokowi, Ahok merasa satu visi dan track recordnya pun sama ketika di Belitung dan Solo. Majulah mereka berdua. Perfect!
Oleh karena itu jangan pernah memandang sebelah mata wakilnya Jokowi ini, mereka sama-sama bagus dan egaliter. Insya Allah diamanatkan wujudkan Jakarta Baru. Untuk masalah agama, Ahok tidak pernah mempermasalahkan. Dia prioritaskan sesuatu sesuai dengan kondisi. Ahok sangat menghormati semua agama. Omongan Ahok mengenai ayat-ayat suci di pelintir banyak orang. Mereka nggak ngerti maksud Ahok itu apa. Yang nggak diinginkan Ahok adalah, ketika seorang pejabat disuruh bayar pajak dia berlindung pada ajaran agama tertentu. Dan ketika dipenjara berlindung pada konstitusi. Maka dari itu ayat-ayat suci tidak bisa digabungkan dengan konstitusi.
Tidak Punya Mobil
Tidak Punya Mobil
Percaya atau tidak, Ahok gak punya mobil. KPK pun tidak percaya. Itu kenapa? Karena Ahok lebih suka menolong orang dibanding beli untuk pribadinya. Mengenai kepemimpinan Ahok di Belitung, salah satu Kyai besar disana membandingkan Ahok dengan si “pengacara” dari babel juga. Inisialnya 'Y'. Kyai itu bilang “Ahok biarpun Kristen, orang-orang Belitung pada dinaikin haji. Kalo si 'Y' yang diberangkatin hanya keluarganya. Ahok sangat cinta rakyat!”
Ahok tidak membedakan orang, timses lawan politiknya di Belitung ada yg memiliki kinerja bagus dijadikan bagian dari jajaran pemerintahannya. Teringat ketika gue ke Belitung, ada seorang pendeta yang datang menemui Ahok. Intinya ingin meminta sumbangan berupa mobil. Mobil itu konon katanya dipakai untuk antar jemput jemaat. Waktu itu pembicaraan Pak Ahok dan pendeta didepan saya. Ahok langsung menolaknya. Karena yang Kristen di desa Gantung (desa Ahok) hanya sedikit dan jaraknya sempit. Kalo tiap minggu ke gereja kata Ahok masih bisa jalan kaki. Si pendeta gak terima dan marah-marah ke Ahok sambil bilang “Kamu hanya sumbangkan ke masjid-masjid saja, agamamu tidak disumbang”. Ahok jawab ; “Aku sumbangkan gereja juga, Tapi tidak banyak karena disini mayoritas lebih banyak yang memakai masjid”. Pendeta itu pun akhirnya pulang.
Besoknya saya dan kawan-kawan ijin sama Pak Ahok untuk wawancara masyarakat Belitung mengenai dia. Pak Ahok bilang “Kalau mau wawancara ditempat yang milih saya dikit. “Karna kalau kalian wawancara ditempat saya menang, pasti baik semua”. Akhirnya kita ketempat yang sedikit pilih Ahok. Dalam perjalanan, saya berfikir pasti jelek-jelek nih yang bicara tentang Ahok. Dugaan gue meleset, semua mengakui Ahok padahal dulu gak nyoblos Ahok.
Beruntung, sekarang Jakarta dapat giliran berikutnya yang akan diubah oleh Ahok. DKI Jakarta jangan sampai hilang kesempatan emas ini. Saya ngetwit ini tidak dibayar, dikasih hadiah apalagi dijanjiin dikasih jabatan. Saya ingin negara ini berubah, keadilan sosial merata. Tiap hari bantu Ahok saya tidak dibayar, saya dan kawan-kawan simpati terhadap kinerjanya. Saya hanya bisa membantu dana untuk Ahok melalui jualan kemeja. Semua keuntungan saya serahkan untuk kampanye Jokowi-Basuki, walaupun capek tapi saya dan kawan-kawan puas menolong orang yang memang pantas ditolong. Pesan saya : Jika ada suatu kesempatan ikut serta dalam memperbaiki bangsa, buktikan! Mari wujudkan Jakarta Baru
Penulis: Fitra Elnurianda | Dari berbagai sumber